~Happy Reading~
Mengalahkan hati itu bukanlah perkara yang mudah
Aku menghela nafas, “Rama masih mengingat kejadian itu. Kejadian 18 tahun lalu.” Batinku.
“Kirana, kamu sakit ya? Kok bisa sampai mimisan, itu muka juga pucet.”
Aku hanya terdiam, aku memang belum berfikir untuk memberitahu Rama. Dan aku fikir sekarang memang belum waktu yang tepat.
“Belum mau berbagi cerita denganku?” Tanya Rama seakan tahu apa yang sedang ada dalam hatiku, “Tak apa, aku mengerti. Aku yakin suatu saat aku pasti juga akan mengetahuinya.”
Aku merespon ucapan Rama dengan sebuah senyuman, “Ya, aku memang tidak akan pernah bisa menyembunyikan hal apapun darimu, Ram.”
Entah mengapa Rama menunduk, dan dalam diamnya ia juga tersenyum. Dan lebih anehnya lagi, hatiku terasa damai melihat senyuman Rama.
*****
Dengan sepeda tua milik mendiang ayahnya, Rama mengantarku pulang ke rumah Eyang. Dari jauh aku bisa lihat dengan jelas sosok Naya yang tengah berdiri, berjalan mondar-mandir ke kanan dan ke kiri seperti setrika.
“Kak Kiran gak papa kan? Kenapa dari tadi gak pulang-pulang?”
Yaa banyak pertanyaan melayang ke telingaku, “Biarkan aku duduk dulu ya, Nay? Boleh kan?”
Naya mengangguk dan dengan sigap memapahku menuju ruang tamu, “Eyang dimana, Nay?”
“Eyang sedang pergi. Kami mencoba menenangkan Eyang dan mebujuknya pergi, akan Kak Kiran bisa pulang tanpa rasa takut.” Jelas seorang lelaki.
Rasa bingung kembali ku rasa saat melihat orang yang sama yang tadi berada di rumah Rama.
“Saya Danu, adiknya Bang Rama. Sedari tadi Kak Kiran bertanya-tanya tentang saya kan?”
Mendengar hal itu, aku mengangguk leher bagian belakangku yang sebenarnya tidak gatal, “Iya. Ku kira Rama anak tunggal.”
“Sejak kecil Danu dulu ikut Bapaknya merantau, Kak. Tapi sejak Pak Harun wafat, Danu balik ke sini. Kira-kira sejak Kak Kiran gak pernah ke sini lagi.” Ucap Naya dengan lancarnya.
Aku mengangguk sebagai isyarat bahwa aku telah paham, “Maaf ya, Nay. Rencanamu jadi berantakan karnaku.”
“Kan masih ada hari esok, Kak. Yang penting buat Naya itu Kak Kiran sembuh dulu.”
Naya memang adik yang luar biasa, sungguh aku patut bersyukur karena banyak sekali nikmat yang Allah berikan untukku. Kebersaaman dengan mereka yang sangat aku cintai.
“Ambil ini!” Naya menyodorkanku beberapa obat yang memang seharusnya telah ku santap pagi ini.
Aku ambil obat itu dan ku masukkan satu per satu ke dalam mulutku. Mataku tak bisa berpaling dari wajah Rama. Ku kenali raut wajah itu, raut wajah cemas dan penuh khawatir.
“Maaf Ram, aku berjanji akan beritahu semuanya padamu.” Batinku.
Meski aku sendiri ragu, entah kapan waktu itu tiba. Ataukan masih ada waktu untukku mengatakan semuanya.
“Gini aja, gimana kalo besok kita pergi sama-sama. Sekalian ke sanggar, gimana?” Tanya Danu dengan tiba-tiba.
“Sanggar?” Tanyaku mencoba memastikan sesuatu yang tak asing dengan kata sanggar.
Rama mengangguk, “Iya, ke sanggar. Tempat favorit yang telah lama tak kau kunjungi. Kau mau kesana?”
Senyum kembali mengembang, “Tentu. Besok jemput aku dan Naya ya, jam 10 tepat gak boleh telat!”
“Tapi ada syaratnya.” Ucap Rama dengan nada serius.
“Apa?”
“Kau harus sembuh, gak boleh sakit.”
Aku mengangguk menyetujui syarat itu, “Aku gak papa, Ram. Apalagi besok kan mau ke sanggar.”
“Ada satu syarat lagi.”
Mataku kembali memandang Rama dengan bingung, banyak sekali syarat yang ia ajukan.
“Bawakan makan siang buatan Naya, gimana?”
Tiba-tiba pukulan cukup keras mendarat pada pundak Rama, “Ngejek ya?” Seru gadis itu.
Rama menggeleng tak mengerti, “Ngejek gimana sih? Bagian mananya?”
Bukannya menjawab, Naya justru memasang wajah cemberut.
“Kalo yang buat makan siang Naya, aku gak usah makan aja deh.” Ledek Danu.
Naya yang terlanjur sebal berusaha memukul Danu, tapi Danu berhasil lolos dan berlari keluar rumah. Tak gentar Naya mengejar Danu dengan bersenjatakan bantal sofa.
Aku dan Rama tertawa melihat tingkah ke kanak-kanakan kedua adik kami.
“Mereka mengingatkanku pada cerita kita ya, Ran?” Tanya Rama masih dengan tawanya.
“Iyaa, lucu.”
Rama berhenti tertawa dan berbalik memandangku, “Tapi kalau aku gak akan lari, Ran.”
“Kenapa?”
Tanpa sadar mataku kini menatap mata Rama, dan kedua pasang mata kami pun bertemu.
“Aku akan diam, membiarkan kau memukuliku sepuasmu. Aku gak akan lari dan membuatmu lelah karna mengejarku.”
Entah dari mana senyum ini muncul, “Apaan sih, Ram.”
“Aku juga gak tau dari mana kata-kata ini muncul, Ran. Semua seakan mengalir begitu saja, kau rasa ada yang aneh antara kita?”
Lama ku memejamkan mata, pertanyaan itu kenapa harus Rama tanyakan?
“Sudahlah, lupakan saja. Ku tunggu masakanmu ya, Ran. Udah lama aku gak makan masakan buatan chef Kirana.”
Hati ini ingin membrontak satu sisi dalam diriku bertanya, kenapa aku hanya diam. Dan tak mengatakan yang sejujurnya pada Rama bahwa aku juga merasakan keanehan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Terindah
RomanceAyah, putri kecilmu ingin membahagiakanmu. Dengan tidak meremehkan pilihan Ayah, dengan menyetujui perjodohan ini. Yang aku tahu, jodoh terindah itu tersembunyi. Terhijab oleh sang mata kasar. Tetapi, ia ada dalam penilaian dan aturan Allah SWT. Yan...