~Happy Reading~
Sepeda tua itu berhenti dan terparkir rapi. Sang pengemudinya lantas turun dan berjalan didepanku, aku hanya mengekor dari belakang. Tubuh kecilku ini mungkin saja tak terlihat ketika berada di belakang tubuh Rama yang jangkung itu.
Diketuknya pintu kayu yang usang, tak lama Eyang keluar dan menyapa kami dengan rambut putihnya yang khas itu.
Sesuai pintaku, Rama tutup mulut dengan kejadian tadi pagi.
“Lalu kenapa lama sekali?”
Aku diam, entah mengapa tiada satupun ide yang muncul dikepalaku untuk ku jadikan sebuah alasan pada Eyang.
“Kiran ingin main ke rumah, Eyang. Tapi tadi malah ketiduran.”
Eyang manggut-manggut mendengar Rama yang tiba-tiba saat menyahut.
“Eyang mau kedalam dulu, mau masak. Rama sarapan disini ya?”
Rama menggeleng sopan, “Ndak usah Eyang, Rama harus buru-buru ke sawah.”
“Selalu ada 1000 alasan anak ini.”
Eyang berlalu dan hilang setelah melewati korden pintu depan.
Akhirnya aku bisa bernafas lega. Aku sendiri masih bingung kenapa Eyang dengan mudahnya dapat percaya dengan ucapan Rama.
“Eyang percaya banget sama kamu ya, Ram.”
Rama hanya tersenyum dalam diamnya.
“Dosa nggak ya?”
“InsyaAllah gak dosa, kan tadi kamu beneran tidur dirumahku.” Tawanya menutup kalimat yang merupakan fakta itu.
Dirumah Rama, mataku memang terpejam. Aku hilang kesadaran, tapi itu bukan tidur biasa melainkan pingsan.
“Aku balik ya, Assalamu’allaikum”
“Wa’allaikumussalam”
Setelah Rama pergi aku langsung masuk kedalam dan kudapati Eyang tengah menyusun banyak piring-piring penuh dengan berbagai hidangan. Baunya wangi sekali, menyebar memenuhi seluruh ruangan.
“Enak nihh!” Seruku sembari menyandar pada pundak Eyang dengan manja.
“Eihh mandi dulu sana baru boleh makan.”
Ku kecup pipi Eyang dan kemudian berlari ke kamar. Kanaya, adikku masih saja bermain dengan guling dan bantalnya.
“Bangun, Nay!”
Ku tarik selimutnya, sebentar Naya terbangun namun tak lama tubuhnya kembali jatuh ke atas ranjang.
Dengan usil ku ambil gayung dan kuisi air. Dengan susah payah dan basah-basahan aku bisa membangunkan puteri tidur itu.
Setelah mandi, ku berdiri melihat bayanganku sendiri dari balik cermin lemari. Ku paksakan beri sebuah senyum untuk menyembunyikan pucatnya wajah ini.
Sebelum pergi ke meja makan, ku sempatkan membuka buku diary yang tergeletak diatas meja. Ku buka gemboknya lalu ku mulai menulis.
Dear Diary,
Kini gejalanya semakin terlihat jelas, ku rasa keadaanku kian memburuk. Hanya senyum yang bisa ku berikan, penjelasan ini entah sampai kapan bisa aku rahasiakan.Kepadanya, sahabat yang entah kini ingin kupanggil apa. Rasa yang ada kian besar untuknya. Apa salah jika rasa ini bersemayam didalam hati?
Apa salah jika ada hal baru dalam ikatan hubungan persahabatan ini?Kepadanya, sahabat yang entah kini ingin kupanggil apa. Maaf aku juga merahasiakan ini darimu. Aku tau, tak ada apapun yang bisa ku simpan darimu. Janji untuk berbagi segala suka dan duka mungkin telah aku langgar. Maaf.
Diary, untuknya, sahabat yang entah kini ingin kupanggil apa. Aku masih bersedia menunggunya. Menunggu dalam kesabaran ini terlihat lebih indah bagiku, daripada aku harus mengungkapkannya. Menantinya dalam untaian doa terkesan lebih bermakna daripada menjelaskan rasa ini padanya.
Diary, salamkan pada angin. Duhai angin pembawa pesan. Ku titipkan rindu untuknya, seoarang sahabat yang entah kini ingin kupanggil apa.
Jogja, 10 Juli 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Terindah
RomanceAyah, putri kecilmu ingin membahagiakanmu. Dengan tidak meremehkan pilihan Ayah, dengan menyetujui perjodohan ini. Yang aku tahu, jodoh terindah itu tersembunyi. Terhijab oleh sang mata kasar. Tetapi, ia ada dalam penilaian dan aturan Allah SWT. Yan...