LIMA BELAS

2.4K 158 22
                                    

"Meskipun kamu berkali-kali menyakitiku, tetapi bodohnya aku tetap mencintaimu."

***

Semenjak Mamanya menelepon bahwa Cherry pagi-pagi sudah berada di rumahnya, Allen tanpa pikir panjang langsung hengkang dari rumah Allea.

Allen tahu, seberantakan apapun Cherry, kalau suasananya tidak seburuk itu, gadis itu pasti tidak akan berada di rumahnya pagi-pagi sekali. Apalagi Mamanya berkata kalau gadis itu datang dengan keadaan kacau.

Setelah memarkirkan motornya dengan asal, Allen berderap menuju ruang utama dimana Cherry berada. Di sana, gadis itu tengah ditenangkan oleh Mamanya yang sesekali mengusap helai rambut hitam Cherry dan mengucapkan beberapa kata menenangkan.

"Assalamualaikum," salam Allen kemudian melangkah mendekat ke kedua wanita itu.

"Wa'alaikum salam."

Keduanya menoleh. Dengan jelas, Allen dapat melihat hidung merah dan wajah sembab Cherry. Bahkan gadis itu masih sesenggukan.

"Ada apa?" Mata Allen tertuju pada Cherry yang langsung berhambur memeluknya erat.

"Ma – Mama Papa, Len. Mereka mau cerai." Tangis Cherry makin pecah. Namun dengan sayang, Allen menenangkannya.

"Mama ke dapur dulu, ya. Cherry jangan sedih terus, kan masih ada Tante sama Allen di sini. Cherry nggak akan sendirian, kok." Mama Allen tersenyum sebelum pergi, ia sempatkan kembali membelai surai hitam Cherry.

"Bener kata Mama. Kamu nggak akan sendirian. Ada aku di sini," ucap Allen dengan ringisan karena baru saja ia mengatakan hal tersebut pada Allea untuk menenangkan gadisnya itu, namun sekarang ia menggunakan kata-kata itu untuk menenangkan gadisnya yang lain.

Wajah Cherry yang semula menunduk dalam pelukan mereka, kontan mendongak. "Beneran kamu nggak akan ninggalin aku, kan?"

Allen menggeleng lemah. "Nggak akan dan nggak akan pernah."

Ya, Allen tak akan meninggalkan Cherry yang sudah bersahabat dengannya dan keluarga sejak kecil. Tidak semudah itu memutuskan sebuah ikatan hanya demi egonya. Allen tak mau melihat Cherry makin terpuruk. Sahabat sejak kecilnya itu bahkan lebih berarti dari apapun yang ia miliki saat ini.

***

Siang ini mendung menggantung di langit, namun sejak beberapa saat lalu masih saja belum turun hujan. Allea menumpukan sikunya pada besi pembatas di beranda kamarnya. Memandangi langit abu-abu yang menurutnya begitu indah.

"Di sini lo ternyata. Mama nyariin tau, nggak," ujar Mario dan mengambil tempat berdiri di samping Allea. Ikut menikmati suasana mendung di siang hari.

"Hm," Allea hanya berdeham singkat sebelum akhirnya menoleh ke arah Mario. "Kenapa?"

Mario balas menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa apa emangnya?"

"Kenapa kalian masih di sini?"

"Karena kita keluarga? Mama nggak keberatan kalau tinggal di sini, tapi kayaknya malah elo yang keberatan, ya?"

Allea menundukkan pandangannya, melihat rumput liar di bawah sana yang mulai tumbuh tak terawat. Allea bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ia dan Mamanya – Siska, mencabutinya.

"Keluarga, ya? Apa menurut lo gue bakal fine fine aja sama keluarga yang lo maksud? Setelah Mama pergi, akhirnya Papa kembali. Harus ya, kehilangan dulu sebelum apa yang udah gue kangenin balik ke gue?"

Mario menoleh tak mengerti. Jadi selama ini Allea merasa tak nyaman?

"Gue butuh beradaptasi. Nggak bisa langsung klop gitu aja sama kalian. Apalagi ngeliat kalian yang masih di sini, ngebuat gue jadi... bukan gue lagi."

ALLEA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang