TUJUH BELAS

2.3K 174 31
                                    

"Aku menyesal karena bertahan hanya untuk harapan kosong yang berakhir rasa sakit pada diriku sendiri."

***

Pagi ini rumah Allea sepi, tidak seperti kemarin. Saat gadis itu melangkah menuruni tangga dengan sudah memakai seragam SMA, ia sama sekali tak mendapati Tiwi seperti kemarin menyiapkan sarapan.

Hanya ada Mario yang sedang mengaduk gelas berisi susu putih di sana.

Allea pura-pura batuk untuk mengalihkan perhatian Mario padanya.

Dan berhasil. Mario menghentikan sejenak aktivitasnya dan menoleh ke arah Allea. "Udah bangun? Nih, gue buatin susu putih. Nggak tau lo bakal suka apa nggak," ujar Mario sambil mengangkat gelas tersebut dan memberikannya pada Allea.

Allea tersenyum singkat. Perlahan ia menyeruput susu putih yang bisa dibilang ia agak tidak suka karena ya menurutnya ini menjijikkan. "Thanks."

Mario kembali sibuk dengan roti tawar di pantry untuk di olesi dengan selai coklat. "Mama sama Papa nggak bisa ke sini pagi ini. Mungkin nanti sore baru bisa ke sini. Jadi selama mereka nggak ada, gue yang bakal nemenin elo."

Memang semalam setelah kabar duka Mama dan Papa tirinya, Tante Tiwi dan Papa Herman memutuskan menginap di sini.  Namun, semalam mereka memutuskan untuk pulang dan berjanji akan kembali keesokannya.

Setelah menu sarapan sederhana yang diaiapkan Mario, mereka berdua menikmatinya sebelum kemudian berangkat sekolah.

Mereka keluar rumah beberapa menit kemudian dan menemukan motor ninja hitam yang terparkir di luar gerbang rumah Allea dengan sang empunya di atas motor tersebut.

Allea tersentak melihat siapa orang itu. Mata tajam menusuk seolah siap siaga ia hunuskan pada Allea, bahkan raut wajah pemilik motor tersebut sangat tak bersahabat.

Allea memilih diam di beranda rumah, membiarkan Mario yang menghampiri pemilik motor tersebut.

"Ada urusan apa lo pagi-pagi kemari?"

Dengan sebelah tangan memegang stang motor, laki-laki itu menjawab, "Gue perlu bicara sama adek lo."

Kedua alis Mario terangkat tinggi-tinggi. Kemudian ia menoleh ke belakang dan mendapati bahwa Allea masih diam mematung di beranda rumah. "Tapi kayaknya adek gue nggak mau ketemu elo, dah."

Gigi laki-laki itu bergemeletuk menahan emosi. Kemudian ia menatap tajam Allea. "Le! Gue perlu penjelasan dari elo. Gue tunggu di sekolah." Setelah berkata demikian, ia melesat pergi dengan motor ninjanya.

Mario melangkah mendekati Allea yang masih mematung di tempatnya semula. "Lo lagi berantem sama Allen?"

Allea menatap ke arah mana saja asal bukan ke arah Mario yang malah menberinya tatapan mengintimidasi. "Bukan urusan elo. Buruan, yuk, betangkat! Bentar lagi masuk, nih."

Allea melenggang pergi tanpa menjelaskan apapun pada Mario. Dan karena Mario tak ingin merusak mood adiknya itu, akhirnya Mario memilih diam dan mengambil motornya yang terparkir di samping rumah.

***

Setelah jam pelajaran keempat usai, dilanjut dengan istirahat, Allea sama sekali tak meninggalkan bangkunya. Mario sudah lebih dulu pergi karena dihampiri temannya untuk ikut bergabung bermain futsal. Sedangkan Afifa, gadis itu sudah melesat pergi setelah memaksa Allea ikut ke kantin bersamanya meski usahanya harus sia-sia.

Allea sibuk dengan buku sketsanya. Menggambar sebuah Mawar merah dengan darah yang seakan menetes dari kelopak bunga itu. Meski tak begitu jelas, namun Allea mencurahkan rasa sakitnya pada gambar tersebut.

Pensil Allea tiba-tiba direbut. Merasa tak terima, Allea menoleh tajam ke arah siapa saja yang berani mengganggu aktivitasnya.

Bukan Allen namanya kalau tidak bisa membalas tatapan tak kalah tajam dari Allea. Allen ke sini untuk menagih janjinya tadi pagi, bahwa ia butuh penjelasan. Allen tidak akan semudah itu diputuskan oleh gadis seperti Allea ini.

Melihat bahwa Allen yang merebut pensilnya, Allea kembali berusaha tidak mengacuhkannya. Gadis itu hendak bangkit dan menghindari Allen sebelum laki-laki itu menarik tangannya dengan kasar dan membawanya ke area belakang sekolah.

Setibanya di sana, Allen menghempaskan tangan Allea, mengabaikan warna kemerahan di sana karena ulahnya.

Allea berusaha tidak peduli dengan rasa sakit di pergelangan tangannya. Dengan acuh, gadis itu membenahi letak kacamata dan menatap sinis pada Allen. Sungguh sifat yang sama sekali bukan Allea sama sekali.

Allen menangkap sinyal aneh dari Allea. Gadis yang biasanya selalu diam dan menunduk bila berhadapan dengannya, kini malah dengan terang-terangan seolah menantangnya.

"Lo apa-apaan, mutusin gue sepihak, hah?" Allen melontarkannya dengan amarah tertahan.

Masih dengan sikap tak acuhnya, Allea menjawab, "bukannya itu yang elo mau?"

Tak ada lagi kata-kata manis, yang ada hanya lo-gue selama mereka berbicara.

Allen maju satu langkah, memperpendek jarak di antara mereka. "Gue nggak akan semudah itu biarin lo lepas dari gue, sebelum gue yang ngelepas elo!"

Pertahanan yang selama ini Allea bangun hampir saja hancur jika saja sekelebat ingatan menyakitkan tentang Allen yang berselingkuh dengan Cherry tiba-tiba melintasi kepalanya.

"Lo brengsek, Len!" Desis Allea tajam.

Laki-laki mana yang suka dipanggil brengsek sekalipun ia memang benar-benar brengsek? Dan Allen sangat-sangat tidak suka julukan itu diberikan kepadanya.

"Apa maksud lo, hah!" Suara Allen naik satu oktaf, bahkan urat lehernya ikut keluar.

Dengan sekuat tenaga, Allea mencoba menahan air matanya yang hendak luruh. Ia tak mau meneteskan air matanya di depan laki-laki yang berulang kali menyakitinya ini.

"Lo macarin gue, tapi di belakang lo romantis-romantisan sama cewek lain. Lo pikir gue segoblok itu buat nutup mata lagi, hah?"

Yang pertama dan kedua, mungkin bisa Allea terima kalau dirinya yang salah paham. Tapi kalau sampai ketiga kalinya, Allea tak bisa terima. Apalagi ia mendengar secara langsung Allen memanggil Cherry sayang.

Allen diam membeku. Kedua buku tangannya memutih akibat terlalu kuat ia menggenggam tangannya. "Lo salah paham!"

Plakk!

Allen pilas mendapat tamparan telak di pipi kirinya. Ia manatap lamat Allea yang matanya memerah.

"Mana bisa gue salah paham buat ketiga kalinya?! Bodoh banget gue, bertahan cuma buat cowok brengsek kayak elo."

"Dengerin gu – " belum sempat Allen meneruskan perkataannya, Allea sudah melesat pergi dengan sebelah tangan membekap mulutnya.

Sekuat tenaga Allea masih menahan tangisnya. Tidak. Tidak boleh ia menangisi laki-laki itu lagi. Segera saja Allea berlari menjauhi belakang sekolah dan bersembunyi untuk mereda emosinya.

Allen masih di tempatnya. Ia hari ini sama sekali tak mengenali Allea. Gadisnya yang dulu selalu manis dan bertingkah lembut, kini menunjukkan sisi lainnya karena ulah Allen.

Allen memegang dadanya yang terasa nyeri. Tubuh Allea sudah menghilang di balik belokan menyisakan sesak di dadanya yang semakin perih.

"Apa lo sekarang ngerasa sakit?" Lirih Allen pada dirinya sendiri. Ia akui, ia memang menyedihkan. Membuat seorang gadis terluka hingga pergi dari sisinya, dan kemudian ternyata hatinya sudah terikat dengan gadis itu.

***

Bersambung...

Ya Allah drama banget, sih 😥😥

Jangan lupa krisarnya ya 😚

Love,

Erisyakw

ALLEA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang