UPK & UN

166 14 14
                                    

"Besok jam tujuh harus sudah kumpul di sekolah, ya. Kita mau ada pengarahan dulu sebentar sebelum UPK!" perintah Bu Riris. 

Pagi ini, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Jarum jam masih menunjukkan angka tiga. Yah, aku sengaja bangun jam tiga dini hari agar aku bisa shalat tahajud dan memohon kepada Allah untuk kelancaran UPK dan UN. Selesai shalat tahajud, berdoa, dan tak lupa pula untuk bertilawah sebentar.

***

"Tungguin dong, Nda. cepet banget sih jalannya," kesal Novi yang sedari tadi ternyata mengikuti langkah kakiku.

Aku pun menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap Novi, "Ternyata kamu dari tadi di belakangku, tho? Maaf, nggak lihat," ucapku sambil menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal. "Ayuk cepet!" lanjutku setelah berhasil menangkap tangan Novi.

"Iya, ayo, Beb."

Aku dan Novi pun sedikit berlari menuju lantai tiga, tempat laboratorium resep. Syukurlah, masih belum rame yang dateng, batinku.

"Beb, bukannya kamu praktek nanti jam dua?" tanyaku sambil berjalan beriringan.

"Iya, tapi aku disuruh berangkat dulu buat breafing, nanti pulang lagi."

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku.

Semua anak sudah berkumpul di ruangan sebelah laboratorium resep. Mendengarkan arahan dari guru-guru farmasi serta kepala sekolah dengan seksama.

Di Lab Farmasi....

"Bismillah," gumamku saat kaki ini memasuki ruang lab.

"Absen satu sampai lima, silakan maju ke depan!" ucap salah seorang pengawas.

Ada empat orang pengawas yang mengawasi berjalannya Ujian Praktek Kejuruan ( UPK ). Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Kedua lelaki itu tak lain kepala sekolah SMK Farmasi yang menguasai tentang ilmu resep, Pak Toto. Dan lelaki yang santunya lagi, Pak Tyo, yang tak lain ketua PAFI ( Persatuan Ahli Farmasi Indonesia ) Banjarnegara.

Masih dengan mulut yang komat-kamit berdzikir dan membaca doa untuk kelancaran UPK.

"Agustina Winda." Namaku disebut dengan lantangnya. Jantungku berdetak semakin cepat, mungkin mukaku kini sudah pucat pasi. "Ayo, pilih yang mana?" lanjutnya.

Kelima surat itu kupandangi secara bergantian, dengan tangan yang sedikit bergetar, aku mengambil amplop urutan nomor dua dari kiri. "Bismillah," gumamku.

Setelah menerima amplop itu, aku pun kembali ke meja praktikum. Aku menempati meja urutan pertama, meja paling depan, dan paling dekat dengan pengawas.

Perlahan kubuka amplop berisi soal resep yang akan diujikan. Mataku terbelalak saat membaca soal resep itu. "Paket nomor dua," batinku. Sejenak kupejamkan mataku, menetralisir perasaanku yang sudah campur aduk tak jelas. Meyakinkan hati bahwa, aku bisa mengerjakan soal ini dengan baik! Bismillahirrahmanirrahim!

Kalian ingat kan? Soal paket nomor dua adalah paket soal yang paling sulit, paling ribet, dan paling banyak usul. Aku pun mulai mengerjakannya dari soal yang paling mudah terlebih dahulu.

"Waktunya hanya dua jam ya. Lebih dari itu kita diskualifikasi," seru Pak Toto, salah satu pengawas yang terlihat sangat sangar dengan kepala botaknya.

Dua jam kemudian....

Setelah hampir dua jam berkutat dengan obat. Panas, keringat pun sudah bercucuran. Entahlah ... rasanya semua jadi satu dalam satu ruangan. Semua sibuk dengan soalnya masing-masing. Aku pun keluar laboratorium dengan perasaan lega, karena dapat mengerjakan semua soalnya dengan sebaik-baiknya.

SEFATU (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang