Sepucuk Surat di Atas Awan

121 12 10
                                    

Udara dingin menyeruak hingga menusuk tulang. Kurapatkan jaket warna merah marun yang kukenakan. Menggosokkan kedua telapak tangan hingga menciptakan kehangatan.

Matahari sudah mulai meninggi. Semakin siang, udara di tempat ini justru akan semakin dingin dan semakin tertutup kabut.

Terlihat para petani sedang memanen hasil kebunnya. Deretan pegunungan hijau menjadi pemandangan yang tak boleh terlewatkan. Tiga jam bukanlah waktu yang singkat.

Jalanan yang berkelok dan naik turun menjadi ciri khas jalanan di pegunungan. Jika yang tak terbiasa menaiki kendaraan roda empat di jalanan seperti ini, pasti perutnya akan merasakan mual.

Rasanya baru kemarin aku mengunjungi desa ini. Dan sekarang, aku sudah kembali lagi menapaki tanah tinggi ini.

Yah, saat ini aku tengah berada di Desa Dieng. Desa yang terkenal dengan sebutan Negeri di atas awan. Desa tertinggi di tanah Jawa dengan ketinggian 2000 Mdpl. Desa Dieng terbagi menjadi dua kabupaten. Dieng Kulon yang masuk Kabupaten Banjarnegara. Dan Dieng Wetan sudah masuk Kabupaten Wonosobo. Diapit oleh dua gunung yang sama-sama terbentang gagahnya, yaitu Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Kupandangi gagahnya Gunung Sindoro yang berdiri kokoh di hadapanku. Dulu, aku sempat mendapat tawaran dari Wanda untuk mendaki Gunung Sindoro. Berulang kali kuyakinkan orangtuaku untuk mengijinkanku mendaki gunung itu. Tapi nihil, malah kudapati ucapan pedas dari Ayahku.

Kamu itu anak perempuan, di rumah saja bisa kan?

Tak usah pergi-pergi menantang maut. Gunung itu berbahaya.

Sampai kamu nangis darah pun, Ayah tak akan mengijinkanmu naik gunung!

Sakit? Tentu saja sakit saat mendengar ucapan itu keluar dari mulut orangtua kita sendiri. Sempat aku berpikir, kenapa aku dilahirkan sebagai seorang wanita? Kenapa aku tak dilahirkan sebagai seorang lelaki saja? Bisa bebas ke mana pun dia mau. Bukankah bebas tidak harus melanggar batas?

Sejenak aku sadar, wanita itu istimewa. Wanita itu bak permata yang harus dijaga kesuciannya. Maka dari itu, Allah sangat memuliakan wanita. Sampai cara berpakainnya pun diatur dalam Al-Quran dalam surat Al Azab ayat 59.

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّ ۗ ذٰ لِكَ اَدْنٰٓى اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 59)

Sejak saat itu, aku bertekad ingin mencari suami pendaki gunung saja. Agar aku bisa mendaki gunung bersamanya. Bukankah, tanggungjawab seorang wanita jika sudah menikah bukan lagi tanggungjawab Ayahnya, melainkan tanggungjawab suaminya. Aku tersenyum sendiri mengingat pemikiran konyolku.

"Nda, ayo turun! Malah senyum-senyum sendiri. Udah sampe nih, kamu mau duduk di bus terus?"

"Ah, iya." Aku tersentak kaget saat Bella menepuk pelan lengan tanganku. Membuyarkan lamunanku.

Aku merapikan kembali seragam putih abu-abu yang kukenakan. Aku yakin, seragam ini pasti sudah lecek karena terlalu lama duduk dan dibawa bersender pada kursi bus.

SEFATU (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang