Perjuangan Terakhir

15 2 0
                                    

Saat itu, aku baru saja turun dari Dieng. Masih dalam perjalanan pulang karena mampir dulu ke Gunung Lawe di Banjarnegara. Salah satu teman seperjalananku mendapat pesan singkat yang berisi tentang pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah akan diadakan di Dieng.

Saat itu, rasa di hatiku beradu antara senang dan bingung. Senang lah sudah pasti karena bakal ke tempat paling indah lagi. Namun bingung juga dengan biaya untuk ke sana. Kalaupun minta sama orangtua jelas bakal dikasih, apalagi untuk kepentingan sekolah. Di sisi lain, aku tak tega jika harus minta uang saku yang tak sedikit dalam sebulan ini.

Dalam perjalanan pulang, otakku terus berpikir keras bagaimana caranya aku memperoleh uang saku untuk ke Dieng lagi. Seakan ada bola bohlam di atas kepala, Allah memberiku ide cemerlang, yaitu bekerja.

Sesampainya di rumah, aku pun mengutarakan keinginanku untuk bekerja pada Ibu.

"Bu, aku pengin kerja, deh. Bosen di rumah enggak ngapa-ngapain. Itung-itung sambil nunggu penempatan kerja di apotek itu," ucapku yang memberikan alasan basa-basi. Padahal niatku untuk mendapatkan uang saku untuk ke Dieng lagi.

"Coba saja kerja di warung satenya embah. Mau enggak? Kalau mau, besok Ibu coba bilang sama embah." Ide cemerlang. I love you so much, my mom.

Akhirnya aku meng-iya-kan saran Ibu untuk bekerja di warung satenya embah. Bukan warung sate biasa, warung sate milik embahku ini bisa dibilang warung makan gede. Setiap malam, pengunjung tak pernah sepi.

Dua hari setelahnya, aku pun bekerja di situ. Berangkat pagi, pulang malam. Berangkat wangi, pulang bau kambing. Percuma mandi sore kalau kena asap sate lagi. Tapi demi uang saku, aku rela. Tak ingin lagi ku membebani orangtua dengan hanya meminta uang. Toh, menghasilkan uang dengan hasil keringat sendiri lebih memuaskan daripada minta sama orangtua. Benar atau benar?

Walaupun kerjaan benar-benar padat dari pagi sampai malam, kewajiban shalat lima waktu tetap harus dijaga, ya, Kawan!

Lima hari aku bekerja di warung sate milik embah. Hingga akhirnya, aku pun berpamitan kalau sudah tidak masuk kerja lagi dikarenakan akan menghadiri acara kelulusan dan perpisahan sekolah di Dieng.

"Mbah, maaf. Mulai besok, Winda udah enggak bisa berangkat kerja lagi. Soalnya Winda mau ada acara kelulusan di Dieng," pamitku sekalian pulang ke rumah lebih awal.

"Oh, ya sudah, enggak apa-apa. Kalau ada jamur, Embah nitip, ya?"

"Iya, Mbah. InsyaAllah."

"Ini bayaran kamu selama lima hari. Diterima, ya." Embah memberiku sepucuk amplop berwarna putih.

"Alhamdulillah. Terimakasih, Mbah. Winda terima, ya."

Aku terkejut saat melihat isi amplop itu. Dapat selembar uang kertas berwarna merah saja sudah girang banget. Ini dia hasil keringatku selama lima hari. Alhamdulillah.

Esok harinya, aku bisa tenang pergi untuk ikut acara kelulusan dan perpisahan di Dieng.


Sempilan part, Gays!!! 😂

SEFATU (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang