Kutatap bangunan kuno peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh di depanku. Bangunan dua lantai yang memiliki banyak sekali pintu dan jendela.
Orang menyebutnya Lawang Sewu, yang dalam bahasa Jawa artinya seribu pintu. Entah ada berapa pintu dan jendela di bangunan ini, sampai tak bisa dihitung. Mungkin ada ribuan jumlahnya.
Bangunan yang menyimpan sejuta sejarah tentang Indonesia dan cerita mistis di dalamnya. Sesaat setelah kemerdekaan Lawang Sewu digunakan Kantor Perusahaan Kereta Api, kemudian militer mengambil alih gedung ini, tetapi sekarang telah kembali ke tangan PT KAI. Saat ini, bangunan tua tersebut telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero.
Aku mengikuti langkah pemandu wisata yang akan mengantarku dan rombongan berkeliling Lawang Sewu. Aura mistis masih sangat kental pada bangunan ini, walaupun sudah banyak yang direnovasi.
"Mau dilanjutkan ke lorong bawah tanah?" tanya pemandu wisata.
Dengan kompak semua rombonganku termasuk aku menggelengkan kepala, "tidak, Pak!" tolakku.
"Kalau mau, nanti bayar lagi buat sewa sepatu boot. Soalnya di ruang bawah tanah becek," jelas pemandu wisata.
"Nggak deh, Pak. Pasti serem banget di bawah kan. Mana gelap, becek," ucap Nur.
"Iya bener, Pak."
"Ya sudah, kalau gitu kita lanjut ke atas saja, ya."
Satu persatu anak tangga kunaiki. "Beb, ngilu ya liat ke bawah," ucap Novi yang masih menggenggam erat telapak tanganku.
"Jangan di liat, berdoa aja."
Kalau di tempat seperti ini, semuanya harus dijaga. Jaga lisan, jaga perilaku, kesopanan itu yang paling utama. Salah sedikit, 'mereka' akan bertindak. Hati-hati dan jangan lupa untuk selalu berdoa memohon perlindungan kepada Allah.
***
Setelah lelah berkeliling di dalam gedung Lawang Sewu, buru-buru aku keluar ke halaman depan gedung, karena rasa tak nyaman tengah meliputi hatiku. Yah, aku sering merasa tak nyaman berlama-lama berada dalam ruang gelap. Entahlah, seperti ada sesuatu yang mengikutiku.
Ternyata rombongan yang lain sudah banyak yang berada di halaman gedung Lawang Sewu. Ada yang asik berfoto ria atau berjalan-jalan di sekitar Lawang Sewu. Aku dan Novi memilih duduk di atas rerumputan yang hijau. Memandangi ramainya Kota Semarang di sore hari.
"Anak-anak, foto dulu ayok!" seru Bu Riris mengajak foto bersama untuk mengabadikan moment saat di Lawang Sewu.
Aku pun ikut berfoto dengan teman-teman yang lain.
Di halaman depan gedung Lawang Sewu, terdapat satu gerbong kereta api untuk menandakan bahwa gedung ini dulunya berfungsi sebagai Kantor KAI.
"Laper nih....." ucapku.
"Iyah, dari tadi kita nggak makan gara-gara udah liat muntahannya Resa hilang selera makanku," keluh Novi.
"Iyah... Mumpung lagi nggak ada dia, makan aja yuk, Beb! Nasi kotakku yang tadi masih."
"Iya, betul!"
Walaupun hanya nasi kotak yang isinya nggak banyak, yang penting makan, perut isi, jadi kenyang, tidur nyenyak, dan hati pun senang.
Lembayung senja telah menghiasi langit Semarang sore ini. Warna oranye yang bergelayut manja. Menunggu sang penangkap gambar menangkap indahnya lembayung senja.
Menjelang malam, Kota Semarang benar-benar ramai. Aku menyusuri trotoar sekitar Lawang Sewu, mencari oleh-oleh yang pas untuk dibawa pulang.
Langkahku terhenti pada sebuah ruko kecil yang menjual berbagai makanan khas Kota Lumpia itu. Selain lumpia, ada wingko babat yang menjadi makanan khas dari Kota Semarang.
Wingko babat, makanan yang terbuat dari tepung ketan yang dicampuri parutan kelapa. Sekarang ada juga varian rasanya, seperti coklat dan durian. Cara pengolahannya dengan cara disangrai.
"Bu, niki pinten?" ( Bu, ini berapa?) tanyaku pada pelayan toko.
"Niku selangkung, Mbak," (Ini dua puluh lima ribu, Mbak) jawabnya.
"Awis tenan to, Bu. Sedoso ewu mawon nggih, Bu? (Mahal sekali, Bu. Sepuluh ribu saja ya, Bu) tawarku.
"Dereng saged, Mbak. Paling gangsal welas." (Belum bisa, Mbak. Paling lima belas ribu)
"Nggih sampun, setunggal mawon, Bu." ( ya sudah, satu saja, Bu) Oleh-oleh sudah kudapat.
Satu tips untuk kalian, jika berkunjung ke Tanah Jawa. Sebisa mungkin gunakan bahasa jawa -kromo inggil- karena kalau tidak, jika membeli apa-apa pasti akan dikasih harga mahal.
Atau bisa ditemani orang lokal untuk mempermudah membeli oleh-oleh.
"Kamu udah beli wingko, Beb?" tanya Novi.
"Iya udah, nih." aku memamerkan satu kresek berisi wingko babat rasa coklat.
"Ya udah yuk, kembali ke bus."
"Ayuk ah, aku lelah hayati."
"Ada apa, Nda, panggil-panggil namaku," tanya Nur yang memiliki nama lengkap Nur Hayati.
"Apa sih, aku lelah hayati. Bukan panggil kamu haha. Pede sekali kau haha."
Kuhempaskan tubuh lelahku pada bangku bus. Merapihkan barang bawaanku dan juga oleh-oleh yang akan kubawa pulang. Semuanya sudah tersusun rapi di dalam tas ranselku. Tidur sejenak untuk menghilangkan lelah, setelah seharian berkeliling Kota Semarang.
"Kok busnya berhenti? Ada apa ya?" tanyaku melihat kanan-kiri, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Resa masuk UGD," jawab Istiqomah dengan suara serak khas orang habis menangis.
"Resa? kenapa dia, Is?" tanyaku.
"Dia nggak sadarkan diri setelah sepanjang jalan tadi muntah terus, udah lemas banget sampai pingsan dia tadi," jawab Istiqomah sesegukan.
"Ya Allah, separah itu?"
Istiqomah hanya menganggukan kepala. Saking lelahnya tubuhku dan aku tertidur lelap, sampai aku tak menyadari peristiwa yang baru saja terjadi.
"Di mana sih?" tanyaku.
"RSUD. Magelang, Beb," jawab Novi sambil menunjuk papan nama bertuliskan RSUD. Magelang.
Dan aku pun hanya ber-oh ria. Aku mengambil ponsel yang kuletakkan di tas kecilku. "Jam sebelas malem," gumamku, itulah yang tertera pada layar ponselku. Perjalanan masih panjang. Dan temanku masih tergolek lemah di ruang UGD.
"Ya Allah, selamatkan Resa."
Kan, telat update lagi. Ada yang nunggu kelanjutan ceritanya nggak ya?
jangan lupa coret-coret ya, Reader. Butuh masukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEFATU (REVISI)
No Ficción(Romance, Humor, Perjuangan) Tim Author : NARinjani Perjuanganku menjadi seorang farmasis... Be strong!!!