I feel so close to You II

73 6 1
                                    


Setelah hampir lima belas menit mencari letak dari base camp pendakian Gunung Prau, alhamdulillah terlihat juga papan petunjuk bertuliskan 'Base camp Pendakian Gunung Prau via Kalilembu'.

Dengan segera, kami pun menuju basecamp tersebut dan melakukan pendaftaran dengan biaya yang sangat terjangkau. Hanya empat ribu rupiah. Sekali lagi, hanya empat ribu rupiah, kita sudah bisa menikmati indahnya Gunung Prau. Itu tahun 2014 ya, guys. Nggak tahu sekarang sudah berapa hihi.

Setelah melakukan pendaftaran, aku dan rombonganku naik ditemani guide. Dan dia hanya mengantar kami sampai pada pos bayangan sebelum menuju pos satu.

Matahari sudah mulai terik. Panasnya begitu membakar kulit. Beberapa kali, kami berpapasan dengan pendaki lain yang baru saja turun dari Gunung Prau.

"Mari duluan, Mbak, Mas," sapa beberapa rombongan pendaki yang kutebak mereka berasal dari Jakarta. Terlihat bagaimana logatnya berbicara. Mereka-para pendaki-sangat ramah tamah. Tak kenal, tapi saling menyapa. Dan itu, aku suka.

"Semangat, Mbak, Mas!"

"Semangat, ya! Puncaknya sedikit lagi kok."

Berbagai macam seruan para pendaki yang memberi semangat pada kami yg tengah beristirahat.

***

Setelah hampir tiga jam perjalanan mendaki, akhirnya aku dan rombonganku sampai di puncak Gunung Prau.

Sepi.

Sunyi.

Berkabut.

Hanya ada delapan orang yang berada di puncak. Rombonganku dan dua orang pendaki dari Wonosobo.

Alhamdulillah.

Subhanallah.

Allahuakbar.

Semua rasa lelah terbayar saat kami telah sampai puncak. Rasa bahagia membuncah. Memang pemandangan tak terlihat oleh indera penglihatan karena tertutup kabut. Tapi aku yakin, bahwa di bawah sana ada panorama alam yang terpampang begitu indah.

Di sini, aku merenung. Memang inilah tujuan awalku. Menyendiri dalam sepi. Bersembunyi dibalik kabut. Hatiku banyak bicara. Namun, mulutku bungkam. Aku begitu menikmati suasana di sini.

Aku tersenyum getir. Manusia begitu kecil jika dibandingkan dengan hamparan permadani alam raya yang begitu besar. Masih pantaskah kita berlaku sombong?
Kita hanya sebutir debu di dunia ini. Hanya sebutir debu.

Ya Allah, kubuang rasa benci, rasa sombong, iri, dan dengki dalam hati ini. Kubuang kekecewaan dalam hati. Aku ingin kembali pulang menjadi orang yang lebih berarti. Menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya ... aamiin, batinku.

Kedua kelopak mataku masih terpejam. Menikmati semilir angin yang membelai lembut tubuhku.

Aku tersentak saat seseorang memanggil namaku, "Agus! Lihat sini!" Seru Semprul.

Cekrek! Cekrek! Cekrek!

Beberapa kali Semprul mengambil gambarku dengan kameranya.

"Lihat, Sem?" pintaku.

" Ya Allah, mukanya kucel banget!" Aku dan Semprul tertawa melihat hasil fotoku. Rasa lelah mendaki membuat wajahku hitam berdebu.

Udara semakin dingin. Kabut semakin tebal. Namun aku suka kabut. Entah mengapa kabut selalu membawa cerita tersendiri. Aku yakin, dibalik tebalnya kabut selalu ada keindahan di sana.

Seperti Allah yang memberi ujian pada hambanya-kabut. Namun Allah selalu memberi hikmah dibaliknya-keindahan.

***

Dalam perjalanan pulang, rasa syukur tak henti-hentinya kuucapkan dalam hati. Bersyukur, karena dalam keadaan hati sesakit ini aku masih memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada untukku. Rasa sesak pun hilang dengan sekejap.

Air hujan mulai turun dari langit membasahi bumi. Tak begitu deras, hanya gerimis.

Aku dan teman-temanku pulang melewati jalur Banjarnegara. Jalur yang kulalui saat aku berangkat tadi.

Sepanjang perjalanan, aku lebih banyak diam. Suasana yang gelap dan sunyi membuatku hanya bisa berkutik dalam hati. Berdoa memohon keselamatanku dan teman-teman yang lain. Jika melewati jalanan yang gelap, biasanya aku memilih untuk menutup mata sambil lisan yang terus berdzikir. Aku tak ingin melihat sesuatu yang tak ingin kulihat. Tapi tidak untuk saat ini. Aku harus jadi mata kedua bagi Semprul. Efek kelelahan dan ngantuk sangat berbahaya jika dibawa berkendara.

"Gus, diem aja dari tadi?"

"Udah diem aja. Lagi berdoa. Ini jalan gelap banget sih. Mana sepi lagi, kita doang yang jalan, Sem." Aku memberanikan diri melihat ke arah belakang-sejenak.
"Temen-temen kita ketinggalan jauh di belakang," lanjutku.

"Emang, Gus. Makanya tadi aku ngebut, ngejar motor yang di depan kita. Biar ada temennya," jelas Semprul.

"Heemmm ... jadinya kita kepisah sama yang lain."

"Kamu coba sms mereka, udah pada sampe mana?"

"Iya. Jangan ngebut, Sem."

Dan aku tak suka gelap. Gelap itu mengerikan. Mengerti dengan maksud ucapanku, Semprul kembali fokus berkendara.

***

Setelah hampir dua jam berkutat dengan dingin dan gelapnya malam, aku dan teman-teman mampir ke warung bakso yang berada di pinggir jalan. Sekedar melepas lelah, lapar, dan dingin.

Tak peduli dengan tatapan aneh para pengunjung yang lain. Karena kondisi kami yang terkesan urakan. Dengan percaya diri, kami masuk dan duduk di kursi depan. Memesan bakso dan langsung menyantapnya perlahan.

Canda tawa mewarnai acara makan malam kami. Bercerita tentang perjalanan mendaki. Ponselku kembali berdering.

Ibu :
Udah sampai mana? Pulang jangan kemalaman.

Winda :
Udah di Banjar lagi makan. Abis ini pulang, kok.

Setelah kenyang. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Mbak Nur menginap di rumahku, Bella pulang diantar Semprul.
Alhamdulillah, kami semua pulang dengan selamat. Meski sedikit terhambat.


Gus, aku sudah menepati janjiku, ya....

Aku tersenyum membaca sebait pesan yang dikirim oleh sahabatku. Aku saja lupa tentang dia pernah berjanji untuk mengajakku mendaki Gunung Prau.

Thanks ya, Sem. Aku saja sudah lupa tentang janji itu.

Rasa lelah bergelayut dalam diri ini. Hingga aku terlelap begitu nyenyak.





Bosen kerja. Akhirnya keluar naik gunung. Cari inspirasi, yee.. biar pikiran tenang, hati pun senang... 😂

SEFATU (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang