Pagi ini cuaca sangat cerah. Langit biru bersih tanpa ada gumpalan awan. Sudah hampir sepuluh menit aku berdiri di tepian jalan raya. Menunggu bus yang akan mengantarku ke tempat kerja.
Sayup-sayup dari kejauhan terlihat bus yang tengah melaju kencang. Yah, itu bus yang aku tunggu sedari tadi akhirnya muncul juga. Tangan kiriku melambai untuk menghentikan bus. Namun, bukannya berhernti, bus tersebut malah melewatiku begitu saja. Dan, sang kenek bus hanya tersenyum kecil ke arahku. "Asem, nggak butuh duit kali tuh supir bus." Aku hanya bisa mengendus kesal saat melihat senyum mengejeknya kenek bus.
Sabar, Nda, batinku mencoba menenangkan hatiku yang sedang bergemuruh. Udah siang, bakal telat ini sampai apotek.
Tak lama, datanglah bus dengan jurusan yang sama. Aku pun langsung menghentikannya. Dan, alhamdulillah, bus itu mau berhenti.
"Lagi balapan rupanya," gumamku pelan.
Yah, semenjak aku kerja di apotek, aku selalu pulang pergi naik bus. Bus jurusan Purwokerto - Wonosobo. Melaju kencang layaknya di arena balap. Salip sana, salip sini. Bagaikan jalan raya hanya milik mereka-para supir bus.
"Iya. Sembilan delapan, Mandiraja, setengah," seru salah satu kenek bus setelah menerima telpon dari salah satu rekan kerjanya. Apa ada yang tahu apa maksudnya? Yah, maksudnya, memberitahukan kalau bus lain-kode sembilan delapan-posisinya di daerah Mandiraja dengan membawa penumpang separuh dari penumpang jika kursi terisi penuh.
Setiap kenek mau pun supir bus, pasti selalu seperti itu. Saling memberi kabar melalui telepon. Sebenarnya itu contoh yang tidak baik, dalam keadaan meyupir kendaraan sambil telepon dan ugal-ugalan.
Tak jarang jika banyak yang dirugikan akibat bus tersebut. Kadang berhenti mendadak, menurunkan penumpang sembarangan, dan masih banyak lagi.
Pernah suatu hari saat aku pulang dari tempat kerja dengan naik bus. Bus jurusan Purwokerto-Semarang. Tampak dari kejauhan bus tersebut tengah melaju kencang. Aku pun menyetop dan naik bus tersebut.
Jalannya semakin kencang layaknya pembalap di arena balap. Baru beberapa meter aku naik, tiba-tiba saja ada suara besi jatuh dari bus tersebut.
"Astaghfirullah, ada apa?" tanyaku pada beberapa orang yang ada di bus."Opo, Le?" teriak Si sopir bus pada keneknya.
"Ra popo, Pak. Ayuh jalan maneh (nggak apa-apa, Pak. Ayok jalan lagi)"
Seperti tak terjadi apa-apa, bus pun kembali melaju kencang. Hingga akhirnya bus pun hampir oleng dan terguling.
Dan, alhamdulillah. Aku terbebas dari maut. Bus pun dapat seimbang kembali. Walaupun rusak, ada bagian bus yang patah.
Sebenarnya bus seperti itu sudah tak layak pakai, sudah banyak yang rusak. Atap bus saja sudah disangga dengan besi panjang dan sedikit kokoh.
Apa lagi jika dibawa ugal-ugalan. Sangat membahayakan penumpang, dan juga pengguna jalan yang lain.
"Mbak, Mbak. Jangan ngalamun." Tepukan kecil kenek bus membuatku tersadar dari lamunanku.
"Eh... Ini, Pak." Aku tersenyum sembari memberikan uang untuk membayar bus.
"Mikir opo to, Mbak? Isih isuk wes ngalamun? (Mikir apa sih, Mbak? Masih pagi udah ngalamun?)" tanya kenek bus.
Dan aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala dan senyuman tipis. Begitu juga dengan Pak Kenek sambil berlalu ke arah pintu bus.
Tatapanku kembali pada tepian jalan raya. "Subhanallah, kamu gagah sekali, Slam." batinku.
Yah, Slam hari ini terlihat sangat gagah. Slam adalah panggilan sayang yang kugunakan untuk menyebut Gunung Slamet.
Kotaku memang masih terletak di pegunungan. Udara sejuk khas pegunungan masih bisa di rasakan di sini.
Aku tersenyum di balik masker yang kugunakan. Mataku tak jemu memandangi kegagahan Gunung Slamet yang terlihat sangat gagah dan besar.
Aku beranjak dari bangku bus. Berjalan ke arah pintu bus.
"Sini, mbak?" tanya Pak Kenek.
"Iya, Pak."
"Yak, kiri!" teriak Pak Kenek.
"Hati-hati, mbak," lanjutnya.
"Iya, Pak."
Maaf baru bisa update......😔
KAMU SEDANG MEMBACA
SEFATU (REVISI)
No Ficción(Romance, Humor, Perjuangan) Tim Author : NARinjani Perjuanganku menjadi seorang farmasis... Be strong!!!