Bab 6

13 4 1
                                    

Rabu siang, aku bersiap-siap untuk menjamu Nana yang akan mengerjakan tugas kelompok bersama di rumahku.

Aku sudah dapat memanggilnya Nana, bukan?

Dengan sedikit terburu-buru, aku membereskan ruang keluarga. Nana bilang, dia sudah masuk komplek rumahku.

Tingnong!

Aku berjalan dengan tergesa-gesa ke depan pintu. Di sana sudah ada Nana yang sedang berbincang dengan Aldi.

"Kok gak disuruh masuk temen Kakak Di?" tanyaku pada Aldi yang diam di tempat.

"Punya temen juga lo Kak?" ujarnya mengejek.

Aku melirik sinis mendengar pertanyaannya. "Pergi gak lo?!"

Aldi memeletkan lidahnya lalu pergi ke dalam. Aku mengalihkan pandanganku pada Nana yang sedang tersenyum kecil. "Sorry Na. Ayo masuk!"

"Gila! Ganteng-ganteng adik lo tengil banget ya!" sahutnya sambil terkekeh.

"Tengilnya iya, gantengnya sih ngga!" tukasku kelewat jutek. Nana terbahak.

Aku membawa Nana ke ruang keluarga lalu pergi ke dapur menemui Ibu.

"Bu, minumannya mana? Temen Kakak udah dateng," ucapku memerhatikan ibu yang sedang mencuci sayuran.

"Itu Kak, di atas meja, bawa aja," ujar ibu melirikku sekilas.

Aku mengangguk lalu membawa dua gelas jus melon dengan nampan ke ruang keluarga.

"Repot-repot banget sih, Rin," sahutnya saat melihatku datang dengan nampan di tanganku.

"Nggak kok Na, ini diminum ya!" Aku menjulurkan segelas jus melon.

"Ah! Seger banget panas-panas gini."

"Lebay lo, ayo mulai ngerjain tugasnya!"

***

"Pasti si Tata lancar banget deh ngerjainnya, 'kan bareng si Jihan yang top banget di biologi," Nana berkata dengan bersungut-sungut.

"Rejekinya dia Na," sahutku kalem.

"Iya! Tapi bagus sih, Tata 'kan malesan banget kalo soal pelajaran menghapal kaya gini," Nana terkekeh di akhir kalimat, merasa senang menyebutkan keburukan sahabatnya.

"Kakak! Makan dulu udah jam setengah dua siang, ajak juga temennya!" Ibu berteriak dari dapur.

"Iya Bu! Makan yuk Na!" ajakku pada Nana.

"Eh nggak usah, Rin! Jadi tambah ngerepotin kalo gini."

"Santai aja kali, Na. Ayo! Ibu gue udah nunggu nih." Aku menarik paksa tangan Nana.

"Ayo nak Geana makan dulu," ajak ibu ramah.

"Iya tante."

"Jangan sungkan-sungkan ya, Geana," sahut Ayah sambil tersenyum.

"Iya om."

"Di mana Aldi, Bu?" tanya Ayah, matanya menjelajahi ruang makan.

"Nggak tau, Yah. Bentar lagi juga turun," jawab Ibu menyiapkan makanan Ayah. "Nah, itu orangnya udah dateng!"

"Lama banget nunggu Kak Arin, udah laper dari tadi nih," gerutu Aldi pelan, namun masih bisa terdengar olehku.

"Lagian kenapa gak makan duluan aja? Gue gak minta ditunggu!" Ketusku sambil menyantap makan siangku.

"Mana boleh sama Ibu?"

Di keluargaku memang diwajibkan bila mampu untuk makan bersama, entah saat sarapan, makan siang dan malam.

"Udah-udah, di depan makanan kok malah ngedumel, gak malu apa sama nak Geana?" ujar Ayah menengahi, sambil tersenyum minta maaf pada Nana yang dibalas dengan senyum maklum.

.


"Itu abang lo ya, Rin?" Aku menatap kumpulan figora yang sejak tadi Nana perhatikan.

"Hm."

"Mirip banget ya sama Aldi, kaya kembar gitu," ucap Nana sambil cekikikan genit. "tinggi-tinggi juga lagi, agak beda ya sama lo,"

Aku tak menyahut. Rasanya malas sekali kalau membahas dua saudaraku itu. Mereka sama-sama memiliki tinggi badan yang membuatku mendongak, dan aku selalu saja kesal saat mengingat itu.

"Yah, laptop lo lowbatt, Na," suaraku terdengar kecewa, dan memang itu kenyataanya. Ini tanggung sekali, sekitar sepuluh menit lagi pasti akan selesai.

"Simpen aja dulu filenya, Rin," ujat Nana cepat, tak ingin usaha kita berakhir sia-sia.

"Udah. Kita ke kamar gue aja, kerjain sambil ngecharge. Dikit lagi selesai, nanggung."

"Iya Rin, ayo deh," sahut Nana mengikuti aku menuju kamarku.

"Na, lo ambil aja chargernya di meja belajar, gue mau ke toilet dulu," ucapku berjalan menuju pintu di dekat lemari.

Sekitar lima menit aku habiskan dalam kamar mandi, saat sedang mencuci tangan tiba-tiba...

"GILA!" Aku yang terkejut buru-buru ke luar kamar mandi.

"Ada apa Na?!" tanyaku cepat. Nana masih diam sambil menatap buku harianku. Tunggu sebentar, mari kuulangi, BUKU HARIANKU?! Dengan cepat kuraih buku itu.

Jika hanya buku harian aku tak akan keberatan, masalahnya tepat di cover buku itu aku mencantumkan nama panjang Oka dengan huruf kapital. Jika tidak jelas, nama OKA guys!

Aku memberanikan diri menatap Nana, dan kemudian mengumpat pelan menyesali tindakanku. Di depanku Nana sedang mesem-mesem tidak jelas dengan mata berkilat jenaka. Wajahku memerah, malu. Malu sekali.

"Jadi, ada yang mau dijelasin Arinda Mentari?" tanyanya masih dengan raut yang sangat menyebalkan, mulutnya menyeringai senang, sialan!

"G-gak ada!" Sial! Apa aku harus makan permen karet di depan Nana juga?!

"Muka lo ngejelasin segalanya, Rin!" sahutnya sambil terkekeh lebar.

"Cukup! Ayo selesain tugasnya! Udah mau jam tiga, lo gak mau pulang?" Aku menjauhi Nana menuju laptopnya untuk dicharger.

"Lo ngusir gue nih?" tanyanya dengan nada tersinggung —yang sangat kuyakin hanya dibuat-buat.

"Nggak lah!" sahutku cepat, refleks.

"Tugas selesai, gue minta penjelasan!" titahnya tak dapat dibantah, membuatku gugup selama menyelesaikan tugas.

Yaampun, ini tugas cuma perlu sepuluh menit juga kelar! Tinggal tunggu saja waktu eksekusi.

"Oke. Tugasnya udah beres, jelasin!" ujarnya menatapku penasaran, aku membereskan buku yang berserakan.

Aku duduk, lalu menatapnya kikuk, awkward sekali. "Gue suka sama Feroka Rizaski, temen sekelas kita yang duduk di belakang gue, dari kelas sepuluh. Ehm... gue rasa itu cukup jelas?"

Tbc

Nan, 010717.

Okarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang