Bab 10

10 2 2
                                    

Semalaman aku sudah berpikir dengan matang. Buku Oka harus segera kukembalikan, lebih cepat lebih baik.

Aku berjalan santai sambil memeluk buku paket fisika milik Oka. Bel masuk masih akan berbunyi sekitar dua puluh menit lagi. Koridor terasa sangat lengang.

Aku mengerjap bingung saat seseorang yang tadi berpapasan denganku, mundur dan mensejajarkan langkahnya denganku.

"Arin?"

Aku menoleh pelan dan balik bertanya, "Aris?"

Aris terkekeh lalu membalikkan badannya dan berjalan di sampingku, aku ikut terkekeh.

"Mirip nama kita," katanya masih terkekeh, aku berdeham mengiyakan. "Oh iya, kebetulan ketemu lo nih."

"Kenapa?" aku bertanya saat merasa Aris tidak melanjutkan ucapnnya.

"Lo kan cewek nih, bisa ikut gue gak?" tanyanya santai lalu melanjutkan, "ponakan gue ultah, bantu gue cari kado ya, Rin?"

Aku bingung. Baru kali ini ada cowok yang mengajakku jalan, meski untuk bantu cari kado, tapi tetap saja.

"Kapan? Gue harus ijin Ibu dulu soalnya," aku memainkan tali tasku, apa salahnya membantu Aris.

"Besok pulang sekokah, oke?" aku mengangguk sambil tersenyum lalu masuk ke kelas saat sudah sampai di kelas. Aris berlalu sambil tersenyum.

Aku duduk di kursiku. Kelas sudah mulai ramai, tetapi Oka belum datang.  Baiklah, buku Oka akan kukembalikan nanti saja.

Nata menghempaskan diri di kursi sebelahku, "Ariiin, pr sudah belum?" tanyanya lesu, aku menyodorkan buku prku untuk dicontek Nata. Aku juga pernah menyontek pr miliknya. "sip, makasih!"

.

Aku, Nana, dan Nata sedang berjalan bersisihan saat jam istirahat tiba, kami berniat pergi ke kantin. Tadi, aku sudah akan menukar kembali buku Oka, sayangnya Oka terlihat terburu-buru ke luar kelas saat bel berbunyi. Mungkin setalah istirahat berakhir atau saat pulang sekolah aku akan mengembalikan buku itu.

Aku sudah merasakan ini sejak jam pelajaran baru akan berakhir. Aku ingin ke kamar mandi, tapi kutahan karena tidak ingin ketinggalan pelajaran. Aku berjalan dengan tidak nyaman, "kalian duluan yaa, gue mau ke toilet, udah nggak kuat."

Aku segera berlari kecil tanpa menunggu jawaban Nana dan Nata. Toilet hanya terisi tiga siswa termasuk aku, langsung saja aku masuk pada satu bilik yang kosong.

Aku mengurungkan niatku untuk membuka pintu saat mendengar dua orang berbicara dengan berbisik—meski tetap terdengar olehku. Mereka terlalu bersemangat saat berbincang.

"Gila ya! Gue tuh dari kelas tiga SMP udah ngodein si Aris. Tapi tetep aja dia nggak peka! Gue kurang cantik apa Beb?!" aku yang mendengarnya merasa aneh, suaranya terdengar lembut dan tidak cocok berbicara ketus separti itu.

"Lo cantik kok Bel, cuma ya si Aris aja yang kelewat cuekz abez!" aku mengernyit mendengar dua kata di akhir, kenapa pula diakhiri huruf 'z'?

Mengapa aku sangat peduli pada dua orang yang sedang bergosip ini? Aku merapikan diriku lalu membuka pintu pelan, melihat dua irang dengan bedak di masing-masing tangan. Aku berdeham lalu pergi ke wastafel untuk mencuci tangan.

Saat selesai aku berlalu dengan santai, sempat kudengar salah satunya berkata, "tadi pagi gue lihat dia lagi jalan sama si Aris di koridor."

Maksudnya aku? Tapi aku tidak peduli, memang benar kok.

***

Aku berjalan pelan mengikuti Oka yang pergi ke parkiran. Aku belum siap sebenarnya untuk mengetahui respon Oka saat tahu bukunya—surat cintanya ada padaku. Aku menghela napas hati-hati sambil terus mengunyah permen karet rasa susu yang mulai terasa hambar.

You can do this! Aku terus menyemangati diriku sendiri.

Reflek aku membalikkan badan saat Oka melakukannya juga. Aku memukul dahiku pelan, apa yang kulakukan?!

"Arin?  Ada apa?" suaranya terdengar bingung, aku memutar tubuh lalu tersenyum aneh. Lalu apa?

"Rin?" sahutnya lagi saat aku masih diam.

"Oh, anu. Ini. Ka, buku kita ketuker," aku menyodorkan buku paket bersampul yang sama dengan milikku. Dapat kurasakan tanganku sedikit bergetar.

"Oh ya? Buku apa?" tanyanya bingung. "Fisika?" lanjutnya setelah mengecek halaman depan bukunya. Aku berdeham mengiyakan.

Aku menunggu Oka selesai dengan pengecekan bukunya sampai akhirnya dia menemukan kertas berlipat yang enggan aku lihat. Aku penasaran bagaimana raut wajah Oka saat menemukan kertas itu. Dan betapa menyesalnya aku saat menemukan raut sumringah itu.

Rasanya sakit. Aku mencoba menghalau air yang sepertinya akan mengalir ke luar dari mataku.

"Yash!" serunya membuatku tersentak, "akhirnya," lanjutnya sambil mengangkat kertas itu.

"Eh tapi Rin, buku punya lo masih di rumah. Gue balikin besok ya!" Oka berkata lagi saat aku masih diam sambil terkekeh tidak jelas.

"Arin? Lo kenapa? Maaf kalo bukunya nggak gue bawa," katanya mencoba mendekatiku. Tidak mungkin aku mengeluarkan air mata sekarang kan? Dan dia berpikir aku menangis hanya karena itu?

Aku mundur, reflek lagi, "bukan, bukan itu." Dia mengerutkan keningnya bingung, aku berpikir keras untuk segera pergi dari sini.

"Gue anter pulang ya?" ajaknya. Kurasa ia merasa bersalah—padahal ini bukan karenanya. Tanpa menungguku membalas, Oka menarik tali tasku agar aku mengikutinya.

Seperti orang linglung, aku hanya mengikuti semua arahannya, mengenakan helm yang ia berikan, menaiki motornya lalu memegang jaket bagian sampingnya.

Aku menjatuhkan kepalaku pada bahu kiri Oka saat motornya mulai berjalan, menggenggam erat jaketnya. Biarlah Oka ilfeel, setelah ini semuanya akan kembali seperti semula. Aku harus memanfaatkannya.

Sungguh sia-sia usahaku saat berlatih semalam agar tidak menunjukkan kekecewaanku. Tetap saja tidak bisa, ini semua menyakitkan. Dan semoga segera selesai.

TBC

300518
#dirumahaja

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Okarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang