Bab 9

21 4 0
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak surat cinta itu ditemukan. Dan sudah tiga hari pula aku menghindari semuanya. Melakukan aktivitas seperti sedia kala, berdiam diri di Perpustakaan saat jam istirahat.

Sampai hari ini juga aku belum menukar kembali buku paket fisikaku dengan milik Oka. Aku terlalu takut mengetahui kebenarannya, meski saat ini saja sudah cukup menyakitkan.

Aku tidak bisa untuk tidak merubah pandanganku pada Nata. Ini sangat sulit, selalu saja ada pertanyaan yang bercokol di otakku seperti, Mengapa Oka suka Nata? Mengapa bukan aku? Mengapa aku harus kenal Nata? Mengapa pula aku suka pada Oka?  Dan lainnya.

Memang sejatinya tidak sulit untuk menyukai gadis seperti Nata. Selain dia mudah berbaur, parasnya yang manis juga mendukung, bahkan meski tingginya tak seberapa.

Brukk....

Aku tidak sengaja menabrak sesuatu. Sebelumnya aku memang sedang menuju Perpustakaan untuk mengembalikan empat buku yang aku pinjam. Dan karena terlalu fokus melamun, aku sampai tidak memerhatikan jalanku.

"Rin, lo gak papa?" aku mendongak, ternyata Radit. Alasan apa yang bisa membuatku menghindar?

"Maaf Radit," ucapku sambil menerima buku yang diambilkan oleh Radit.

"Salah gue sebenernya, gue sengaja berdiri di depan lo buat buktiin lo fokus apa nggak," sahutnya sambil meringis. "Sorry ya, Rin."

"Iya nggak papa, gue emang lagi ngga fokus," ujarku terus terang.

"Kok lo jarang bareng kita lagi?" tanya Radit sambil berjalan di sampingku. Kita itu maksudnya Radit, Nata, dan Nana.

"Ehm, lagi marathon novel, Dit," jawabku berkilah. Semoga suaraku tidak bergetar, aku gugup.

"Pantes. Mau ke mana sekarang?"

"Perpus, balikin ini," dan semoga Radit segera pergi.

"Ikut deh, lagi gak punya uang buat ke kantin," suaranya terdengar seperti anak kecil, lucu sekali membuatku terkekeh.

Kami berjalan beriringan menuju Perpustakaan. Untuk apa aku memusuhi semuanya? Mereka tidak bersalah, aku satu-satunya orang yang salah, bukankah hak Oka untuk menyukai Nata?

Meski sesak memikirkan itu, aku harus terima. Tetapi masalahnya bisakah aku bersikap biasa pada Oka dan Nata seperti sebelumnya?

.

"Rin,"

"Arin?" Tatapannya masih mengarah pada guru di depan. Bisikannya memang masih bisa kudengar, tetapi kucoba untuk tak menghiraukan.

"Arin ih!" dan akhirnya dia menoleh sambil mencolek lenganku.

"Eh kenapa Ta? Sorry fokus banget gue," ujarku ngeles. Dia mengerucutkan bibirnya.

"Kok akhir-akhir ini jadi budeg sih,  Rin?" tatapannya kembali ke depan, tetapi suaranya terdengar heran.

"Masa sih? Keseringan dengerin lagu pake earphone kayanya," sahutku sambil menulis catatan. Apa Nata merasa kalau aku menghindarinya?

"Lo jarang ke kantin bareng sekarang," ujarnya pelan, "ikut hang out yuk bareng Nana sama Radit," rautnya sudah kembali ceria. Apa aku bisa seperti dia?

"Gimana ya?" aku harus pakai alasan apa lagi kali ini, kemarin-kemarin mereka memang terlihat sedang sibuk dengan urusan masing-masing sehingga memudahkanku untuk menghindar. Lalu sekarang?

"Ayo dong!"

Aku harus mencoba untuk bersikap biasa. Sambil tersenyum aku menoleh pada Nata lalu berbisik, "oke, pulang sekolah? Gue ijin ibu dulu,"

"Sip," aku terlalu jahat menyalahkan Nata padahal dia tidak tahu apa-apa.

***

"Lho, lho? Kok bisa gue yang salah? Siapa yang suruh kalian ikut mobil gue? Kan kalian yang paksa," Radit mendengus keras. Saat ini kami berencana pergi bersama, dan dengan saran atau lebih tepatnya paksaan Nata, kami akan naik mobil Radit. Dan entah apa masalahnyaa, mobil Radit tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan.

"Mogok kali tuh," sahut Nana datar, lelah dengan pertengkaran dua sahabatnya.

"Lo sih, pasti jarang ke bengkel nih mobil! Malesan sih lo!" Nata sudah sewot sejak awal mobil berhenti mendadak. Menyalahkan Radit terus-menerus.

"Lo yang paksa naik ini ogeb!" pertengakaran semakin sengit, bahkan Nata sekarang sudah melotot.

Aku melirik Nana yang menggeleng bosan, saat kami saling menatap aku mengarahkan mataku pada dua becak yang terparkir tak jauh dari tempat kami.

Nana mengangkat alis seolah bertanya yakin? dan aku mengangguk sebagai jawaban.

"Stop guys, kalo gini solusi gak bakal dateng!" perkataan tegas Nana menghentikan perdebatan kecil dua orang tersebut.

"Mending kita naik becak?" aku menambahkan dengan ragu.

"Oke!" Nata dan Radit berkata bersamaan.

"Kita balapan! Yang kalah harus traktir makan," tantang Nata, sambil menyeringa ia menatap Radit.

"Deal," mereka bersalaman.

.

Kami sampai di cafe tujuan lebih lama dari biasanya. Yang seharusnya setengah jam, menjadi sejam di perjalanan.

Semuanya terbayar saat suara tawa kami saling bersahutan. Tadi kami memilih dua becak yang supirnya terlihat sehat dan bugar untuk melancarkan perlombaan kami.

Aku bersama Radit memenangkan perlombaan, dan Nana juga Tata harus mengumpulkan uangnya untuk mentraktir kami semua.

Aku sadar, pertemanan lebih penting. Meski aku masih baru dekat dengan mereka, mereka menganggapku sahabat.

Hampir dua jam kami di cafe, membicarakan apapun yang dapat kami bahas, melupakan semua kekecewaanku.

Aku masih tertawa bersama yang lain saat tanpa sengaja mekihat Oka dan Bara yang sepertinya menuju ke sini. Senyumku luntur melirik Nata sekilas, apakah akan ada drama percintaan di sini.

"Hai hai," sapa Oka hangat, senyumnya manis sek.... tidak! Cobalah untuk berhenti Arin! Hatiku memperingati.

Dengan tergesa aku melihat jam yang melingkar di tanganku, "aduh! Sudah kesorean, gue pulang duluan ya!"

"Buru-buru banget Rin?" tanya Oka menatapku bingung. Apa sekarang dia merasa aku hindari?

"Bareng aja, lo mau naik apa?" tanya Radit.

"Pesen ojek online," aku membereskan barang-barangku lalu berdiri, "duluan ya semua!"

Aku sempat melihat Radit mengangguk serta Nana dan Nata yang melambai.

Bagus! Aku selalu menghindar dan tidak bisa membereskan perasaanku. Harusnya aku bersikap biasa saja. Aku akan mencoba lain kali.

***

170518.

Okarin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang