Author's POV
"Appo! Appo! Appa hajima!" ringis Jimin kesakitan pada hantaman yang baru saja mendarat mulus pada punggungnya.
Pria iblis itu menengadahkan dagunya, "Dasar anak kurang ajar! Untuk apa kau menasihatiku?! Tidak tahu diri." bentaknya dengan membawa pisau kali ini.
Ia berniat untuk menyayat tangan Jimin sekarang. Dan benar, pria berhati iblis itu mulai melukai tangan anaknya sendiri.
Jika kalian bertanya, kemana ibu Jimin berada? Dia ada di belakang orang yang tengah menyayat darah dagingnya sendiri. Namun, tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka sama saja.
"Eomma, tolong aku. Aku minta maaf. Appa hajima." mohon Jimin yang sekarang sudah tersungkur tak berdaya di lantai rumahnya.
Darah-darah sayatan luka Jimin pun bercucuran mengalir. Ditambah dengan sayatan di hati Jimin membuat Jimin semakin lelah untuk hidup.
Seringkali, Jimin berpikir untuk bunuh diri. Tapi, baginya ia harus hidup demi orang yang mencintainya, tak peduli seberapa banyak orang itu. Selagi cinta mereka tulus pada Jimin.
"Eomma? Appa? Jimin lelah seperti ini. Tolong hentikan semua ini. Hentikan segala kegiatan pembunuhan kalian. Jebal." ucap Jimin melesu pada orangtuanya diiringi isakan tangis yang bukan main.
Saraf-saraf Jimin memerintahkan untuk menutup matanya. Memulihkan luka pada tidur singkat. Hingga akhirnya, gelap. Semuanya gelap. Mati rasa, tentu.
Hanya mimpi indah yang mengiringi tidur singkatnya saat ini. Berharap, ketika dia bangun nanti, orangtuanya berubah. Walaupun itu serasa mustahil.
☀☀☀
"Yosan-ah! Aku senang sekali sekarang. Jimin sunbae memberiku kesempatan. Aku akan memanfaatkan waktu itu." ucap Sora girang pada telepon genggamnya yang ia letakan di samping telinganya itu.
Orang dari seberang sana pun membalas,
"Jinjja? Ah, selamat! Aku yakin kau bisa mendapatkan hatinya."
"Gomawo. Geunde, dia memberiku satu pertanyaan." ucap Sora saat pikiran itu kembali melintas pada otaknya.
"Mwo?"
"Apa kau tahu, hal apa yang membuat dirinya bersikap dingin pada semua orang?"
"Na jinjja molla. Aku memang sepupunya, tapi dia selalu tertutup pada semua orang. Termasuk padaku. Jadi aku tak tahu alasannya, mian."
"Ah, gwaenchana. Geurae, aku tutup teleponnya. Annyeong!" pamit Sora pada Yosan yang berada di seberang sana, hingga akhirnya sambungan itu terputus.
Tapi, orang itu sempat berkata,
"Baik, jangan lupa minum obatnya. Annyeong!"
Yang untung masih terdengar di telinga Sora.
Sora kembali merebahkan badannya di atas kasur empuk rumah sakit. Matanya tertuju pada obat rumah sakit itu. Pikirannya pun mulai melayang, entah kemana.
Apa yang membuat Jimin sunbae menjadi bersikap dingin?, Pikirnya bertanya pada diri sendiri.
☀☀☀
Sinar lampu itu mulai memancarkan sinar terang yang menyilaukan. Sehingga membuat mata Jimin terpaksa terbuka.
Perlahan mata Jimin terbuka, ia tahu betul apa yang akan ia lihat saat membuka matanya. Benar saja, orangtuanya itu sedang menyayat kulit mayat orang yang tidak bersalah itu sekarang.
Ia benci pemandangan seperti ini, sangat membencinya. Ia benci hidupnya. Tanpa ingin melihat lebih lanjut, Jimin pun bangkit dari tidur singkatnya yang mungkin dipindahkan oleh ayahnya ke atas sofa.
Dengan darah yang sudah membeku di lukanya, Jimin berusaha bangkit. Kakinya mulai menumpu pada senderan sofa.
Hingga, akhirnya ia berdiri dengan tegak. Ia pun melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang tak lupa pamit pada kedua iblis itu.
"Eomma? Appa? Jimin ke kamar dulu." pamitnya pada kedua iblis itu dengan senyum yang menghiasi wajah malaikatnya.
Pria itu memang tahu bagaimana caranya menyimpan luka. Jimin memang bodoh, bisa-bisanya ia tersenyum pada saat seperti ini.
Jimin itu bagaikan seorang malaikat yang menyamar menjadi iblis. Tapi, tetap saja tidak bisa dibohongi. Malaikat tetaplah malaikat.
"Iya terserah kau saja," ujar eommanya acuh tak acuh karena sibuk dengan pekerjaan iblisnya itu.
Jimin pun beralih menuju kamarnya. Sesampainya, Jimin langsung membuka album foto yang menjadi penyemangat hidupnya.
Hidup Jimin yang bahagia. Ia ingin sekali mempunyai keluarga seperti anak yang ada di foto itu. Jimin yang ceria sudah lenyap. Hilang. Mati.
Sekarang, hanya ada Jimin yang penuh dengan luka, baik luka hati maupun fisik. Hanya ada Jimin yang merindukan suasana keluarganya dulu.
Matanya mulai tertuju pada surat yang ia simpan di balik fotonya. Dan kalian tahu, surat itu dari siapa?
Surat itu dari Sora. Ya benar, Sora si perempuan yang menggilai Jimin. Ia tidak tahu apa yang membuatnya menyimpan surat dari perempuan aneh itu.
Sora menuliskan 'Bukalah surat dariku jika kau sudah membuka hatimu untukku.' pada surat yang diberikannya untuk Jimin.
Jadi, Jimin belum membuka surat yang Sora berikan dua tahun lalu. Memang sudah selama itu gadis tersebut menyukai Jimin.
Jimin pun mengalihkan pandangannya pada cermin yang ada di sudut kamarnya. Ia dekatkan cermin itu, sehingga nampak gambaran Jimin yang kedua.
Jimin menatap tubuh keduanya lekat-lekat. Memandangi seluruh luka itu. Merenungi nasibnya. Ia tidak boleh mencintai orang lain. Tidak boleh.
Sora bukan orang yang pantas menerima cinta dariku, bantahnya pada dirinya sendidi. Ia sangat membenci dirinya. Jadi, bagaimana bisa ia mencintai orang lain?
"Arghhhh..." Jimin mengerang keras di depan cermin itu. Lagi-lagi, tangan mungilnya itu mengeluarkan cairan merah.
Jimin memecahkan cermin itu dalam satu hentakan keras. Kaca cermin itu sudah menjadi kepingan-kepingan, seperti hati Jimin. Ia lelah dengan semua ini. Hanya luka yang ia dapat. Tak ada cinta.
Jimin menatap nanar tubuh keduanya, "Siapapun tolong aku. Aku lelah seperti ini, jebal."
Ia mengusap cairan merah itu kasar. Ia putus asa sekarang. Hanya isak tangis yang selalu setia menemani Jimin.
Hanya.
Isak.
Tangis.
Saja.
Tidak ada yang lain.
☀☀☀
Happy reading! Vomentnya ya❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Balloons
Hayran Kurgu"Same with the balloons. Dont release that rope, because if you release that rope. It never comeback for you."