L. O. V. E {7}

92 11 0
                                    

Suara burung-burung begitu merdu di pagi hari. Cahaya matahari mulai memasuki kamarku.

Aku segera turun untuk sarapan.

Saat sampai di meja makan, hal pertama yang kulihat adalah suasana yang sangat ramai.

Tunggu, di atas aku tidak mendengar apa-apa. Lalu bagaimana mungkin di sini begitu ramai.

Aku melangkah mendekati kerumunan yang sedang duduk membentuk lingkaran.

Anehnya kenapa mereka semua memakai pakaian berwarna hitam. Dan sejak kapan rumah ini mengadakan acara pengajian?

Kalau pun orang tuaku yang mengadakannya, mungkin sudah dari jauh-jauh hari aku mengetahui hal ini. Tapi, ini.

Aku melihat seseorang tengah berbaring dengan ditutupi kain.

Aku juga melihat ayahku sedang duduk di samping orang itu.

Perlahan kenangan mengerikan itu mulai bermunculan di kepala ku. Kenangan saat aku kehilangan salah satu anggota keluarga ku.

Tidak, ini tidak mungkin. Tidak mungkin ada yang meninggalkanku sendirian lagi.

Aku berjalan perlahan melewati kerumunan orang yang tengah membacakan ayat-ayat Alquran.

Melangkah hingga tiba tepat di depan orang itu. Tepat berada di samping Ayah.

Aku melihat Ayah menutup wajahnya dengan tangan. Tapi isak tangis nya masih terdengar jelas.

Perlahan aku membuka kain yang menutupi wajah orang yang tengah berbaring itu.

Perlahan juga matanya mulai terlihat.

Tidak, mata ini, kenapa aku sangat mengenalinya. Mata ini, kenapa dia bisa begitu mirip dengan mata orang yang selalu menatap lembut diriku dulu.

Tangan ku melepas kain itu. Melepasnya dan munduk kebelakang. Tidak ingin melanjutkan melihat siapa gerangan orang itu.

Aku menatap Ayah di sampigku. Melihat betapa sedihnya dia, air mataku tumpah begitu saja.

Tidak mungkin.

Tenggorokan ku tercekat.

Ayah melihatku dengan raut wajah yang tidak bisa ku artikan.

Dia menggengam tanganku kemudian mengusapnya perlahan seolah menguatkanku.

Air mataku kembali tumpah, tidak bukan ini yang aku inginkan.

"Ikhlaskan Sayang, semoga dia di tempatkan di posisi terindah di sisi-Nya." aku menggeleng.

Masih tidak bisa bersuara, aku kembali menatap orang itu. Orang yang tengah berbaring.

Dengan cepat aku membuka kain yang menutup sebagian wajahnya.

Air mataku keluar. Dia, bagaimana bisa dia berbaring di sana. Ini tidak mungkin.

Dengan cepat aku berdiri, dan berlari menaiki tangga rumahku. Berlari dengan cepat dan masuk kedalam kamar ku. Menguncinya dan bersandar di pintu.

Aku tidak tahu lagi apa yang telah terjadi di keluarga ku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak tahu lagi apa yang telah terjadi di keluarga ku. Apa yang terjadi di hidupku. Aku tidak tahu apa yang kini aku rasakan. Rasanya semua Indra perasaku tidak berfungsi lagi.

Mata itu sangat mirip dengan punyaku. Tidak mungkin akan menutup selamanya. Tidak mungkin.

"Aku, ak-aku... tidak ini tidak mungkin. Ibu.. " tangisku pecah. Aku menangis tersedu-sedu.

Tidak mungkin. Kenapa aku harus kehilangan seseorang yang sangat berharga lagi. Kenapa? Apa dosaku harus merasakan sakit yang amat sangat.

Vera, kenapa aku harus merasakan ini?

Kenapa kamu tidak ada di samping ku saat ini?.

Kenapa kamu dan Ibu tega ninggalin aku sendiri?

Kenapa aku harus menghadapi ini?

Aku kembali menangis. Terus menangis karena itu yang harus aku lakukan.

Menangisi kepergian orang yang aku sayangi karna kebodohanku sendiri. Karna ketololan ku sendiri mereka pergi.

Aku memukuli kepalaku. Ya, seharusnya aku saja yang pergi. Seharusnya memang aku.

Aku berdiri dan membanting apa saja yang ada di depanku.

Bahkan ponsel dan laptop ku sudah hancur.

Aku mendengar suara ketukan pintu. Tapi tidak ku perdulikan. aku kembali merusak apa saja yang ku lihat. Merusaknya hingga benar-benar hancur.

Saat aku menemukan silet, entah apa yang terjadi dengan ku, aku mengambilnya dan mengarahkan benda itu ke arah nadiku berada.

Saat silet itu akan mengiris tanganku seseorang langsung saja mengambilnya dan membuang silet itu begitu saja.

Aku melihat orang itu. Dia menatapku tajam.

"Lo gila? Kalau mau mati nggak gini caranya!" ucapnya dengan nada membentak.

Aku tidak perduli. Aku terduduk lemas di samping kasurku. Menatap lantai kamarku yang entah mengapa sangat Indah saat ini.

"Ra, menyelesaikan masalah, bukan kayak gini caranya."

Aku menatap ke arah matanya. Menatap mata yang sangat Indah menurut Vera. Mata yang sangat membuatnya tergila-gila.

"Tau apa kamu tentang penyelesaian masalah? Kamu nggak tau apa-apa Aldo, kamu nggak tahu apa-apa tentang masalahku. Ini hidupku. Aku yang memulai dan mengakhiri ini. Jadi, biar aku yang melakukannya."

"Dengan cara mengakhiri hidup lo? Itu akan nambah masalah, Rara."

"Lalu aku harus gimana Aldo!!"

Aldo berjalan mendekat. Kemudian memegang kedua bahuku. Menyentuhnya perlahan kemudian membawaku ke dalam pelukannya. Memelukku lembut, kemudian dia berbisik.

"Lo hanya perlu jadi diri lo sendiri. Buktikan pada dunia, kalau lo punya apa yang nggak mereka punya.

Hidup lo terlalu berharga untuk terus berada dalam keterpurukan. Jadi, jalani hidup ini dengan baik. Ibu sama Vera pasti bakalan senang kalau lo bisa mengatasi ini semua."

¢¢¢

Jangan menganggap bahwa masalah yang kau alami itu adalah akhir dari segalanya. Allah tidak mungkin memberikan ujian melebihi kemampuan hambanya. Jadi, bersabarlah dan temukan jalan terbaik dari masalah yang kau alami untuk mengatasinya.

L. O. V. E ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang