L. O. V. E {19}

75 8 0
                                    

"Vera kena kanker. Kanker otak."

Rara masih diam. Dia tidak menjawab, tidak juga berbalik. ia hanya diam di ambang pintu kamarnya.

Saat otak dan dirinya merespon apa yang Aldo katakan. Rara berbalik dan menatap Aldo. Tidak ada ekspresi wajah yang menunjukkan dia marah, sedih ataupun kecewa. Wajahnya hanya datar. Tanpa ekspresi apapun.

Karna tak ada apapun yang Rara katakan, Aldo kembali melanjutkan ucapannya.

"Waktu itu Vera sakit. Orang tua kamu pikir hanya sakit biasa. Karna Vera terlalu giat belajar, mungkin itu penyebab kepalanya sering sakit. Dan karna kondisinya yang semakin memburuk, mereka tidak memperhatikan kamu. Tapi bukan berarti kami lupa begitu saja. Mereka tetap memantau kamu dari jauh. Asisten rumah kamu di rumah selalu melapor apa yang terjadi. Orang tua kamu juga kahwatir sama kamu Rara." Jelas Aldo. Tapi Rara tak kunjung menanggapi dia hanya mendengar.

"Sampai, empat tahun yang lalu. Ibu kamu memeriksa Vera ke dokter. Dan Vera dinyatakan menderita kanker otak stadium lanjut." ucap Aldo lagi.

"Nggak, Ini... Aldo ini nggak mungkin." Aldo sudah tahu reaksi Rara.

"Memang itu yang terjadi, Rara. Aku benar-benar nggak bohong. Ini kenyataan."

"Tapi, Kak Vera meninggal karna bunuh diri. Kamu nolak dia, dan dia bunuh diri." Rara masih tidak bisa menerima kenyataan ini.

"Bunuh diri. Ya, itu yang Vera mau. Dia nggak mau kamu tahu dia meninggal karna penyakit itu. Jadi dia nyuruh aku untuk bilang begitu ke kamu. Dan bodohnya aku ikut apa kata dia."Aldo tertawa miris. "Lagi pula, Vera nggak sebodoh itu. Bunuh diri karna cinta, benar-benar bodoh. Dia bahkan tidak marah karna aku menolaknya. Dia ingin aku bersama dengan cinta pertamaku. Tapi sayang itu mustahil." lanjut Aldo.

Rara masih diam. Tidak menjawab. Dia diam di ambang pintu.

"Mereka semua sayang sama kamu. Hanya cara penyampaiannya yang berbeda. Mereka perduli. Mereka tahu kamu ada." dan perkataan itulah yang langsung membuat Rara berlari ke arah Aldo.

"AYAH. AKU MAU KETEMU AYAH!" teriak Rara lalu menarik jaket yang Aldo pakai. Aldo yang mendapat tindakan mendadak Rara, tanpa pikir panjang membawa Rara ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Ayahnya di rawat.

Dalam perjalan tak berhenti Rara mengucap maaf. Dia salah. Kenapa dia bisa bodoh seperti itu. Kenapa dia sangat bodoh sampai tidak menyadari hal itu. Dan kenapa mereka merahasiakan ini darinya.

Saat sampai, dia lalu menuju ruangan tempat ayahnya di rawat. Rara sampai mengumpat saat lift yang ia naiki sangat lambat. Rara sudah di beritahu ruangan ayahnya oleh Aldo dari mobil tadi.

Aldo bahkan harus berlari mengikuti Rara yang larinya lebih cepat dari kelinci. Aldo sampai ngos-ngosan dibuatnya.

Saat lift sampai, Rara keluar dan kembali berlari mencari kamar ayahnya. Saat menemukan kamar itu, dengan sekuat tenaga Rara menahan rasa yang sudah mendesak keluar.

Saat dirinya tiba di dalam, ayahnya sedang di periksa oleh dokter. Tante Rayna, Rachel juga Rafa ada di sana. Mereka terkejut melihat Rara yang sedang berdiri di ambang pintu. Rasanya seperti mimpi, tapi ia sudah tahu semuanya.

Tanpa perduli ayahnya sedang di periksa, Rara berlari dan langsung menubruk Ayahnya dengan pelukan hangatnya. Pelukan yang sangat lama tidak pernah ia berikan pada ayahnya itu.

Ayahnya yang mendapat serangan tiba-tiba berusaha menahan diri agar tidak terjungkal ke belakang. Melihat Rara seperti ini, senyumnya mengembang. Di elusnya punggung putrinya sayang.

"Ayah jahat." kata pertama itu keluar dari mulut Rara. Diikuti dengan isakan tertahannya. Rara menangis. Menangisi kebodohannya selama ini. Kebodohan yang sudah menjebaknya dalam dendam tak bermakna. Dendam pada keluarganya, yang bahkan tidak salah apa-apa.

"Maafin ayah sayang." hanya itu. Ayahnya tahu, Aldo pasti sudah menjelaskan semunya. Dia sangat beruntung masih memilih satu keluarga kandungnya. Anak perempuan satu-satunya.

"Ayah jahat." Rara tak menjawab, malah mengulang kalimat pertamanya berulang-ulang.

Dokter yang melihat itu terharu. Ia yang awalnya ingin memeriksa pasiennya, malah di kejutkan dangan drama keluarga yang mengharukan.

Semua yang berada di sana terdiam. Seakan tak ingin mengganggu suasana haru ayah dan anak itu.

Aldo yang baru sampai diam seketika saat melihat si Ratu es itu mulai mencair. Seakan mencoba membuka diri, dari dunia yang fana ini.

¢¢¢

Rara diam, tidak mengeluarkan suara apapun. Aldo yang duduk di sampingnya juga memilih diam. Semua selesai. Masalah yang merusak keluarganya akhirnya selesai. Semua memang tidak sesulit itu. Semua akan lebih mudah jika sekali saja Rara mengerti dengan keadaan. Sayangnya ia yang menyebut dirinya peka terhadap apapun seketika tersadar. Dia salah dia tidak benar benar peka. Ia hanya tahu, tak ingin lebih dari tahu.

"Maaf," Rara melirik Aldo sekilas, terlalu malu melihatnya. "Aku salah, aku nuduh kamu yang enggak-enggak. Aku salah." lanjut Rara. Terlalu takut menatap Aldo.

Aldo yang melihat Rara tak mau menatapnya pun hanya diam. Tak menerima maupun menolak. Hanya diam.

Rara yang menyadari itu, semakin menunduk. Ia tahu sulit pasti menjadi Aldo, di tuduh membunuh sahabat sendiri itu benar-benar kelewatan. Ia tahu sulit pasti untuk memaafkan dirinya. Tapi, apakah semarah itu Aldo padanya. Ia tahu ia salah tapi, Apa Aldo setega itu.

Aldo yang melihat wajah Rara yang semakin menunduk tak mampu lagi menahan tawanya. Sebegitu takut nya kah Rara sampai menunduk seperti itu. Aldo hanya mencoba menjailinya saja tidak bermaksud lebih, tapi reaksi Rara sunguh mengelikan.

Melihat Aldo yang tertawa terbahak-bahak, membuat Rara kesal setengah mati. Ia sudah berusaha meminta maaf. Tapi reaksi yang ia dapat bukan yang ia inginkan, malah semakin memperburuk suasana hatinya.

Rara yang kesal menangis. Ia tidak mungkin memukul Aldo, jadi Rara memilih menangis terisak. Karna Rara tahu, Aldo tidak suka melihat Rara ataupun Vera menangis.

Ngomong-ngomong soal Vera, Rara merasa sangat bersalah pada Kakaknya itu. Di saat Vera berusaha menjaga hatinya, ia malah melukai perasaan kakaknya. Adik macam apa dia. Pantaskah ia di sebut adik yang baik. Tentu saja tidak.

"Jangan nangis dong. Kamu malah bikin aku semakin pengen ketawa." bukan membujuk, Aldo malah semakin menertawainya.

Rara yang semakin kesal pergi dari sana dan memilih kembali ke kamar ayahnya, untuk mengadu apa yang telah Aldo lakukan padanya.

Melihat Rara yang pergi, Aldo lantas mengejarnya. Tidak ingin kejadian kemarin-kemarin terjadi lagi. Dimana Rara mendiaminya, ia tidak benar-benar tidak mau itu terjadi.

"Rara tunggu, aku cuma bercanda. Rara! " teriak Aldo, tapi tidak di perdulikan oleh Rara, dan malah semakin cepat berjalan.

¢¢¢

Semua masalah memiliki kerumitannya sendiri-sendiri, pahami masalah yang menimpamu, jangan gegabah dan bertindak di luar batas.

L. O. V. E ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang