Pesta malam ini berjalan lancar. Ketiga sahabatku juga datang menghadirinya. Hanya saja aku merasa kekurangan.
Aku tahu tidak baik mengenang sesuatu yang sudah pergi, tapi jika seperti ini rasanya aku tidak bisa.
Setelah acara selesai, kami sekeluarga kembali ke rumah. Aku menaiki mobil yang sama dengan anak lelaki, wanita itu.
Hanya kami berdua. Dan hanya keheningan yang terasa. Sebelum dia membuka suara.
"Jadi nama lo, Rara." ucapnya melenyapkan keheningan di antara kami.
"Hmm,"
"Masih sekolah?"
"Hmm"
"Kelas?"
"Penting?"
"Gak juga,"
kemudian hening kembali. Aku bingung pertanyaan macam apa itu, dia pasti sudah tahu semua tentang ku dari ayah.
Saat mobil masuk ke dalam halaman rumah mewah itu pun, tetap tak ada percakapan.
Aku turun di ikuti dengannya. Saat aku masuk, ayah dan wanita itu juga ada di sana dengan gadis kecil itu di gendongannya.
"Mulai hari ini, mereka juga akan tinggal di sini." ucap ayah saat aku baru memasuki rumah.
Aku menatap ayah tanpa ekspresi, tapi di dalam hatiku tersimpan amarah. Apa maksudnya tinggal di sini. Sudah lama aku terbiasa tinggal sendiri. Bahkan tanpa ayah dan ibu. Dan sekarang mereka yang merupakan orang lain, akan menempati rumah yang sama denganku.
"Kenapa di sini? Kenapa bukan di apertemen ayah. Bukannya ayah tinggal di sana."
"Ayah juga akan tinggal disini, Rara. Berhenti menolak apa yang ayah minta. Kita akan memulai semua dari awal. Kamu, ayah, bunda, juga Rafa dan Rachel."
"Bunda, aku nggak punya bunda. Aku hanya punya ibu. Hanya satu dan nggak akan pernah ada yang bisa menggantinya." aku berjalan meninggalkan mereka, menuju kamarku.
"Rara, ayah belum selesai bicara. Kemari kamu!" aku tidak perduli dengan suara teriakan ayah.
Aku terus berjalan menaiki anak tangga. Berusah menahan gejolak aneh di dada.
Aku masuk ke kamar. Mencoba merenungkan apa yang baru saja terjadi. Lupakan semuanya. Tidak perduli sesakit apa.
"Aku hanya orang tak berguna di sini. Jadi tetap jalani semuanya sendiri. Tidak perduli apa yang terjadi."
"Aku bisa menahannya. Bukankah aku sudah terbiasa hidup menyedihkan. Lalu, kenapa harus sedih. Itu tidak perlu."
Aku mencoba menghibur diri, hanya itu yang bisa kulakukan selain menangisi keadaan.
Melepas gaun yang ku gunakan. Dan masuk ke dalam kamar mandiri. Berendam dalam air hangat yang akan mencoba menetralkan perasaan kacau saat ini.
¢¢¢
Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam kamarku. Aku bangun dan melangkah memasuki kamar mandi. Membersikan diri, untuk memulai hari.
Lebih baik aku pergi ke sekolah, dari pada di rumah yang sekarang merupakan tempat asing bagiku.
Tidak butuh waktu lama, aku sudah selesai dengan ritual pagiku. Bergegas memakai seragam, dan melangkah keluar kamar.
Aku mencium aroma masakan yang berbeda hari ini. Tidak seperti biasanya.
Pasti wanita itu yang memasak.
Aku berjalan cepat menuju pintu utama. Tidak ingin berlama-lama di sini. Rasa panas mulai menguasai ku.
"Rara, kamu nggak sarapan?" suara lembut itu, tidak kedengaran seperti di buat-buat.
"Nanti di sekolah aja." aku menjawab tanpa melihat ke arahnya, bilang saja aku tidak sopan. Tapi, aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku.
Dia bertanya padaku. Dengan lembut. Aku tidak pernah di perlakukan seperti ini. Padahal dulu aku memiliki seorang ibu. Tapi keberadaanku seakan tidak dianggap. Dan sekarang.
"Kalau gitu berangkat bareng Rafa aja. Rafa juga ke sekolah." ucapnya lagi. Aku menghadap kearahnya.
Melihat wajahnya. Meneliti setiap inti wajah wanita di depanku, yang sudah resmi menyandang status sebagai ibuku.
Dia tidak seperti yang kupikirkan. Dia tidak seperti yang aku bayangkan. Ibu tiri namapaknya tidak kejam. Tapi kenapa harus ibu tiri. Selagi dulu aku punya ibu kandung.
Kenapa aku harus merasakannya dari ibu tiri. Padahal aku punya seseorang yang berharga. Seseorang yang melahirkanku.
"Aku--"
"Rara, ayo sarapan. Kamu nggak boleh melewati sarapan pagi, sayang."
Ayah memotong ucapanku. Aku bahkan hanya terpaku di depan pintu rumah. Menatap ayah yang seakan baru saja bersikap aneh. Sejak kapan dia memanggilku seperti itu.
"Nggak aku sarapan di sekolah aja."
"Kalau gitu, kamu berangkat sama Rafa aja." saat itu juga Rafa muncul dengan seragam yang sama denganku.
"Ayah, dia--"
"Iya, Rafa akan satu sekolah dengan kamu."
"Aku bisa berangkat sendiri. Aku pergi.'' tanpa menunggu lagi, aku langsung pergi dari sana. Berlari keluar komplek perumahan dan mencari bus untuk ke sekolah.
"Aku nggak boleh ketemu sama dia di sekolah. Nggak boleh." gumamku ketika sudah duduk diam dalam bus itu.
¢¢¢
"Rara!!"
Saat tiba di kelas, suara menggelegar Tara langsung menyapu Indra pendengarku.
"Kenapa."balasku datar. Aku sangat badmood saat ini.
"Ada murid baru di kelasnya Aldo. Katanya dia ganteng. Trus--"
"Aku nggak perduli."
Tara hanya memayunkan bibirnya. Sedangkan Karin dan Fany malah tertawa.
"Udah tahu singa betina, kalau lagi tanggal begini ya bakal ngamuk." aku tidak perduli julukn apa yang mereka berikan padaku.
Memang tanggal ini sudah masuk waktu PMSku jadi aku pasti rada sensitif.
"Ra, ada yang cari di depan."
Aku melihat Mita yang baru saja memanggilku. Dia bilang ada seseorang yang mencariku di depan kelas. Entah siapa aku tidak tahu.
"Siapa?"
"Katanya nama dia Rafa."
¢¢¢
Aku tidak tahu apa yang membuat mu menghindar dariku. Tapi, asalkan kamu tau. Aku tidak sejahat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
L. O. V. E ✔
Teen FictionL. O. V. E ______________________________ Ini kisah tentang cinta. Bukan cinta seorang kekasih, tapi cinta sebuah keluaraga, juga sahabat. Cinta sebuah keluarga bahagia, yang hancur dengan sendirinya. Hati yang perih, hancur berkeping. Tak ada tawa...