L. O. V. E {14}

70 7 0
                                    

"Ada apa?" Tanyaku langsung saat berada tepat di depan Rafa. Aku tidak tahu kenapa bisa dia berada di depan kelasku. Tahu dari mana dia.

"Gue cuma mau bilang, ayah nyuruh kita pulang bareng." ucapnya.

"Hmm," cuma itu, kemudian aku berjalan masuk kembali ke dalam kelasku tidak ingin berlama-lama bicara dengannya.

Saat sampai di dalam kelas semua siswa lalu berkumpul di depan meja kelasku.

"Ra, itu Rafa yang murid baru itukan? Lo kenal dia dari mana?"

"Ra, kok dia bisa disini?"

"Kok dia bisa kenal sama lo?"

"Kalian kenalan dimana, kenilin gue ke dia dong"

Dan masih banyak lagi pertanyaan yang kudengar. Aku jadi bingung harus menjawab pertanyaan mereka.

"Aku nggak tahu dia ngapain ke sini. Sekarang balik ke bangku kalian."

Mendengar ucapan tak terbantahku semua siswa langsung menyingkir dari bangku didepanku.

"Ra, dia Rafa saudara tiri kamukan? Yang semalam ketemu di acara nikahan Ayah kamu?" Fany yang duduk di sampingku bertanya. Oh ya, semenjak hari permintaan maafnya, Fany kembali duduk di bangkunya.

"Hmm, aku bingung tahu dari mana dia kelasku."

"Mungkin dari Aldo, semalam dia kelihatan akrab banget sama Rafa. Dan, sekarang mereka sekelas."

Benar juga, dia pasti tau dari kelasku dari Aldo.

Mengingat Aldo, aku jadi memikirkan apa yang dia katakan padaku malam itu.

Apa salah jika aku tidak mendengar penjelasannya? Aku hanya tidak ingin merasa sedih lagi karna mengingat Vera. Di sini memang tidak sepenuhnya Aldo yang bersalah, aku juga turut adil dalam hal ini. Tapi, memang aku yang egois tidak mau merasa diri di salahkan.

Aku sudah pernah menyalahkan diri ku sendiri. Tapi dia tetap pergi. Ayah dan ibu bertengkar, dan ibu juga pergi menyusul Vera. Kemudian ayah mencari sosok ibu penggati. Tidak, itu pasti bukan untukku. Karna ayah tidak pernah benar-benar memikirkanku. Yang mereka pikirkan dari dulu hingga sekrang hanya Vera, anak mereka satu-satunya.

Bahkan saat ibu perg,  aku masih belum bisa melupakan rasa sakit delapan tahun lamanya. Rasa sakit yang membuatku membeci semua orang. Rasa yang membuat rasa sayangku hilang hingga benar-benar kehilang orang yang ku sayang.

¢¢¢

Bel berdering. Semua membereskan buku mereka yang berserakan sehabis belajar. Akupun begitu. Setelahnya aku dan teman-temanku keluar dan menuju ke kantin.

"Bakalan aku borong entar isi kantin. Pak Yaya kalau ngajar gak mikir banget deh, contoh cuma satu, nyuruh kita selesain soal lima belas nomor." cerocos Tara.

"Iya ni, otakku sampai mau pecah." Fany menimpali, aku hanya diam melihat mereka bertiga kembali membahas soal matematika tadi.

Kami sampai di kantin, sudah sangat ramai. Tapi tidak pernah membuat kami menyerah demi mendapatkan sesuatu untuk mengganjal perut yang lapar.

Kami menuju ke salah satu stand makanan memesannya dan menunggu hingga pesanan selesai di buat.

Saat tengah mencari bangku, seseorang mengambil makanan yang ku pegang dan membawanya ke bangku yang sudah ia duduki.

Aku berjalan menyusul orang yang telah mengambil alih makananku. Jika saja kantin tidak seramai ini, aku lebih memilih memesan ulang makananku.

Rafa, orang yang mengambil alih makananku tadi hanya tersenyum dan kembali memakan makanannya.

Aku duduk dan mulai menyantap makannku. Malas berdebat.

Ketiga temanku juga mengikuti apa yang ku lakukan.

Kemudian hanya hening yang terjadi. Tak ada suara, hanya keributan yang diciptakan ramainya penghuni kantin lainnya.

"Ra, nanti jadi pulang bareng kan?" tanya Rafa ketika hening diantara kami.

"Hmm," masih fokus dengan makanku aku menjawab.

"Oke, Aldo juga ikut." seketika pandanganku terarah pada Rafa, "ayah bilang, karna Aldo temen kecil kamu dia juga harus ikut." lanjutnya, karna melihat keterkejutanku saat ini.

"Kenapa harus?" tanyaku tanpa basa basi, tidak perduli orang yang tengah dibicarakan ada di sini.

"Ya, gak tahu, tanya aja sama Ayah."

Aku berdiri, dan melangkah menjauhi kantin.

Mencari tempat sepi, dan menghubungi ayah.

"Halo sayang, kenapa tumben nelfon." Ucap suara di seberang sana.

"Yah, kenapa ayah nyuruh aku pulang sama Rafa?" tanyaku langsung tanpa perlu basa-basi. Tanpa perduli sapaan sayang ayah, aku tidak mau melayang tinggi dan jatuh kembali.

"Rafa gak jelasin, kalau kita mau makan malam sama-sama."  terdengar nada bingung dari sana.

"Iya, tapi kenapa Aldo harus ikut." ucapku menanyakan kejanggalan itu sajak tadi.

Aku tahu ayah dekan dengan keluarga Aldo, tapi itu sudah lama setelah delapan tahu lalu. Aku dan Aldo tidak lagi bermain bersama. Lebih tepatnya ketika kita kehilangan Vera.

"Karna Aldo teman kamu, teman Rafa, juga Vera."

Seharusnya aku tahu jawabannya.

"Yaudah, aku tutup. Siang Yah."

¢¢¢

Apapun yang kau pikirkan, bisakah kau menyelipkan aku ke dalam pikiranmu

L. O. V. E ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang