Rafa duduk diam di samping Rara. Menyibukan dirinya sendiri yang tegah berkendara. Rara pun begitu, hanya diam.
"Ra, kamu sama Aldo gimana?" sekali lagi, pertanyaan itu yang ia dengar. Memang ada apa dia sama Aldo.
"Gak papa, baik-baik aja."
"Aldo gak ngomong sesuatu sama kamu?" Rafa kembali mengorek informasi dari Rara. Sudah sejauh apa gerakan Aldo.
"Gomong apa?"
"Ya, gitu. Apa kek," bingung sendiri, Rafa tidak mungkin to the point menanyakan perihal hubungan mereka.
"Kamu ngomong apa sih, aneh tahu. Udah ah cepat udah hampir telat nih," Dan Rara menghentikan apa yang tengah mereka bicarakan.
Bukan Rara tidak mengerti, hanya saja, kenapa harus dia yang di tanyakan. Rara bahkan tidak tahu Aldo menganggap nya apa.
Saat tiba di kelas juga, ketiga temannya masih terus bertanya. Rara yang jengah langsung saja kabur, mencari tempat aman untuk menenangkan pikirannya.
Udara di disini tidak senyaman di taman belakang atau pun di rooftop. Hanya saja, jika dia ke sana pasti ketiga temannya akan mengikutinya. Maka dari itu Rara mencari suasana baru.
Rara menarik napas, kemudian menghembuskan napas panjang. Semua sudah selesai. Tidak ada lagi sakit yang akan dia rasakan. Kecuali, rasa sakit nya yang telah menyakiti Vera juga Ibunya.
Rasa sakit itu tidak mungkin hilang begitu saja. Walaupun mereka sudah memaafkannya, dia tetaplah bersalah.
"Maaf," ujarnya lirih. Entah sudah yang keberapa kali dia mengatakannya, tapi dia tidak akan pernah bosan apapun akan dia lakukan. Sekalipun harus meminta maaf berkali-kali.
"Udah berapa kali kamu minta maaf terus?" suara itu membuat Rara mendongkak dan melihat mata itu. Mata Indah milih Aldo, kini menghiasi mata miliknya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Aldo.
"Kamu sendiri ngapain?" lagi pertanyaan di balas pertanyaan, hanya sekarang Aldo yang mengajukan.
"Aku kan nanya kamu." tak terima, Rara tak mau menjawab.
"Aku juga nanya kamu."
"Auh ah, bodo." kesal Rara
"Siapa yang bodo?" tanya Aldo lagi.
"Kamu," balas Rara ketus.
"Cie ngambek,"
Rara tak menjawab ucapan Aldo. Jika Aldo menganggap nya ngambek atau apalah, kenapa dia tidak melakukan sesuai apa yang Aldo katakan.
Tidak mendapat tanggapan dari Rara, Aldo duduk di samping Rara dan mulai menceritakan apa yang sudah hilang darinya.
"Aku mau cerita," ujar Aldo. Rara melihat Aldo bingung, kalau mau cerita ya sudah tinggal cerita. Kenapa harus ijin segala.
Karna Rara diam, Aldo kembali melanjutkan kalimatnya.
"Enam tahun lalu, aku pernah merasakan kehilangan yang sesungguhnya. Kehilangan orang yang sangat aku banggakan. Tiga tahun yang lalu, aku juga merasakan kehilangan yang menyedihkan. Tiga tahun yang lalu juga, aku kehilangan penyemangat hidupku. Dia berubah, tidak sehangat dulu. Dia dingin tak tersentuh. Tapi aku tahu, jauh di lubuk hatinya paling dalam, dia masih tetap orang yang aku kenal." Aldo menarap Rara di sampingnya. Kemudian melanjutkannya kembali.
"Sekarang, dia kembali. Dulu hubungan kita yang sejauh Mentari, kini kembali sedekat nadi. Aku sayang sama dia, dan aku harap dia juga begitu. Aku pernah bilang begitu, tapi jawabannya di luar dugaanku."
"Apa jawabannya?" tanya Rara memastikan. Jika benar, dia tahu siapa yang di maksud Aldo.
"Kamu pasti tahu jawabanya."
Rara diam. Aldo pun begitu. Mereka sama-sama diam. Entah pikiran mereka melayang ke arah mana. Yang pasti, akan berakhir sama.
Aldo berharap ini adalah permulaan dari semuanya. Dan Rara berharap ini adalah akhir dari semuanya.
¢¢¢
The End
KAMU SEDANG MEMBACA
L. O. V. E ✔
Teen FictionL. O. V. E ______________________________ Ini kisah tentang cinta. Bukan cinta seorang kekasih, tapi cinta sebuah keluaraga, juga sahabat. Cinta sebuah keluarga bahagia, yang hancur dengan sendirinya. Hati yang perih, hancur berkeping. Tak ada tawa...