Beberapa waktu berlalu hanya dengan Niall memperhatikan setiap detail saei wajah Victoria. "Aku merindukanmu. Aku mencin..."
Victoria tersenyum mendapati Niall menahan kata-katanya. "Akan selalu begitu?"
"Sekarang aku hanya merasa takdir dan waktu sedang bekerja sama untuk mempermainkan kita, iya kan?"
Niall menunduk sejenak sebelum menatap Victoria lagi dan melanjutkan kata-katanya.
"Saat aku mengenalmu, kau menghilangkan rasa takutku dengan sosok-sosok yang orang lain tidak bisa lihat. Kemudian aku menghabiskan masa mudaku bersamamu, jatuh cinta untuk pertama kalinya. Lalu kau pergi. Karena jika kita terus bersama, jantungku tidak akan berdetak. Kemudian kita dipertemukan lagi. Dengan memori yang terhapus begitu saja. Tapi, aku selalu jatuh cinta padamu. Saat harapan untuk bersama selamanya muncul, kau pergi. Lagi. Karena jika kita terus bersama, aku tidak akan hidup lama. Setelah bertahun-tahun mengubur keegoisanku dan berdamai dengan keadaan, mereka membuatmu hadir kembali sekarang. Lalu apa dirimu akan pergi lagi?"
Victoria menatap pandangan Niall yang seolah tak ingin lepas darinya. Ia tidak menjawab karena yakin Niall sudah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. "Aku mencintaimu. Dan akan selalu begitu."
"Dalam psikologi hal ini bisa dijelaskan, katanya karena suatu kenangan itu terlalu menyedihkan, maka otaku memilih untuk melupakannya. Aku pernah baca seperti itu di buku."
"Kau masih suka baca buku rupanya."
Niall mengangguk, tatapannya belum bisa beralih. "Karena memori itu hanya hilang dari ingatan, kalau dari sini," Niall menunjuk dadanya sendiri sambil tersenyum. "Kalau dari sini, tidak mungkin hilang."
Victoria tersenyum. "Oh ya, satu lagi. Saat aku berada di dimensi yang lain, aku tahu bagaimana sebenarnya." Victoria memutar posisi duduknya dan mulai menjelaskan dengan serius.
"Jadi, saat perpisahan kita ketika hujan, hujan itu menghapus ingatan kita. Bagimu itu terhapus secara bertahap sehingga kau tidak sadar kalau sebenarnya kau sedang kehilangan memori tentang kita. Bagiku memori itu terhapus sekaligus dan membuatku berada di gedung tua yang tidak berpenghuni. Kenapa aku bisa tinggal disana? Karena gedung itu adalah tempat tinggalku sebelumnya. Hanya karena aku sudah memilih untuk memakan apel dari pohon larangan agar bisa hidup di bumi seperti manusia, tempat itu menjadi tidak berpenghuni bagiku. Lalu tentang hantu The Red Lady, kau masih ingat kan?"
Niall mengangguk dan Victoria melanjutkan penjelasannya.
"The Red Lady adalah sebuah cerita rakyat lokal disana, ceritanya persis seperti yang mereka bicarakan dulu. Tapi itu bukan aku, itu Victoria yang lain dari seratus tahun silam atau bagaimana lah itu pokoknya. Dia roh jahat yang benar-benar ada, dan dia yang menginginkan nyawamu lewat aku."
"Maksudnya?"
"Seperti yang dikatakan masyarakat lokal, dia ingin mengambil nyawa setiap orang. Dan ia mengincarmu. Setiap aku berubah seperti iblis yang haus darah, itu bukan aku... itu adalah The Red Lady. Dia selalu berusaha bersatu denganku, saat ia hampir berhasil, kau selalu hampir terbunuh. Keputusanku pergi ternyata hal yang tepat, The Red Lady juga ikut pergi. Dia dikirim ke neraka, bukan aku. Aku ada di dimensi lain."
"Dasar iblis keparat." Gumam Niall dengan hatinya yang memberikan seluruh umpatan untuk kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tapi aku lega mendengarnya, kau tidak dikirim ke neraka."
Victoria terkekeh sejenak. "Aku sempat bertanya-tanya, kenapa harus Niall yang berhasil membuka pintu rumah tua itu, sedangkan orang lain selalu aja ada hambatan. Kenapa aku sangat menyukai Niall hanya karena pria bertopi yang tersesat ini memberiku sekaleng cola dingin. Ternyata memang kita ditakdirkan bertemu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget Me Not
Fanfiction(in editing process) "Di kehidupan mana pun itu, aku menginginkanmu."