Gue gatau berapa lama di sini atau sesering apa gue menangis. Ayah akhirnya ketemu sama orang tua Sewoon, tapi bukan dengan cara seperti ini yang gue harapkan mereka ketemu.
"Dek, kamu tidak kuliah?" tepukan pelan di bahu membuat gue menoleh dan itu ibunya Sewoon.
"Nanti, tante."
"Tapi kamu sudah di sini selama dua minggu. Kuliahmu nanti berantakan."
Gue diam, gak berani bilang kalau hidup gue yang kayaknya lebih berantakan lagi kalau Sewoon gak bangun-bangun.
Dia udah lewat masa kritis, tapi gue gak ngerti kenapa dia gak kunjung bangun. Keenakan di dunia sana atau gimana? Gue gak alim, tapi masa iya Tuhan mau jemput Sewoon sekarang? Gue yang banyakan dosa yang harusnya di jemput duluan, bukannya Sewoon gue.
"Sewoon, bangun."
Hanya suara mesin pembaca denyut jantung yang terus berbunyi.
"Sewoon, pulang. Kamu udah kelamaan tidur."
Masih tidak ada jawaban.
"Sewoon. Kamu di mana? Gak lucu kalau kamu mati duluan dari aku."
Gue gak bisa nahan air mata gue dan gue menelungkupkan kepala di dekat tangan Sewoon. Gue gak pernah kepikiran kalau dia beneran mati duluan, gue nanti sama siapa? Nanti gue harus apa?
"Cepetan balik bodoh!" isakku dan gue udah gak paham lagi kenapa masih aja air mata gue ada padahal tiap hari gue nangis aja kerjaanya. "Kamu udah kelamaan tidurnya, gak capek apa kamu tidur terus?"
Gue mulai muak sama suara mesin pembaca denyut jantung yang gue denger. Gue cuma mau denger suara debaran jantung Sewoon pas dia meluk gue, bukan dengernya dari mesin.
"Pulang, Sewoon. Kamu mau apa aja nanti aku turutin," gue gak peduli ntar pas dia bangun ngatain gue jelek karena kebanyakan nangis. Gue gak bakalan nampol dia lagi kalo dia ngomong suka kelewatan jujur. Gue bakalan jadi anak baik dan gak aneh-aneh lagi. Apa pun, asalkan dia bangun. "Pulang!"
Gue gatau berapa lama gue nangis atau bagaimana pada akhirnya gue ketiduran. Sampai gue merasa puncak kepala gue ditepuk pelan dan gue pikir itu ibunya Sewoon atau ayah, tapi saat gue membuka mata, bukan mereka.
"Sewoon," gue gak halusinasi? Gue gak lagi di dalam mimpi bukan?
"Chae," sapanya dan meski mulut dan hidungnya di tutupi oleh masker oksigen, gue masih bisa lihat dia mencoba senyum. Mata gue langsung buram, apalagi pas denger dia ngomong, "jangan nangis. Ntar jelek."
Gue nangis lagi dan gue beneran gak mikir saat meluk dia. Gue lupa kalau harusnya gue gak melakukan itu setelah apa yang dia alami. Tapi gue sekangen itu dan gue emang brengsek, padahal baru aja janji sama diri sendiri buat jadi baik, tapi malah begini.
Perawat dan dokter akhirnya datang karena gue nekan tombol emergency yang terhubung dengan nurse station. Gue nelpon orang tua Sewoon, nelpon ayah dan nelpon Daehwi buat ngasih tahu Somi dan Samuel. Kebetulan mereka bertiga memang dalam perjalanan ke sini.
"Seriusan Sewoon udah sadar?!" tanya Daehwi yang saking gak percayanya, tubuh gue diguncang-guncangkan.
"Cabe! Oleng anak orang ntar!" Somi ngejauhin Daehwi dari gue dan kalau aja ini gue gak lagi senang banget Sewoon udah sadar, gue pasti nyinyirin si Somi karena cemburu sama gue.
Samuel melihat Sewoon dari kaca yang memperlihatkan ruangan ICU. "So ... dia kapan move ke ruangan?"
"Nanti, tunggu dia stabil."
"Gue udah urusin Sewoon cuti," Daehwi akhirnya ngomong lagi dan sumpah ya, gue tuh kadang gak ngerti sama ini anak. Sebenarnya dia itu melambai apa kaga? Soalnya kalau serius begini, damn dia manly banget. "Gue gak yakin abis ini dia bakalan cepat sembuh atau gak. Ya kan lo tahu...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eclipse | Sewoon ✖ Chaeyeon ✔
Fiksi PenggemarFor him, she is the princess. For her, he is the universe. Jangan bayangkan pertemuan keduanya yang romantis, yang ada dipenuhi tensi. Namun, baik Sewoon maupun Chaeyeon tidak pernah menduga akhir kisah mereka lebih dari sekadar panggilan "muka dek...