S I X

33 5 4
                                    

With every mistake we must surely be learning
Still my guitar gently weeps
-The Beatles-

Bagaimana caraku menjelaskan tentang perasaan yang bersemi di hatiku terhadap Logan?

Mungkin rasanya bagaikan berenang di laut lepas untuk waktu yang cukup lama. Terus-menerus berenang di tempat yang sama hingga aku melupakan letak daratan. Dan akhirnya aku hanya mengambang selaras dengan gelombang, memandangi langit biru yang begitu jauh dari jangkauan. Lalu dengan perlahan aku akan membiarkan tubuhku tenggelam, karena enggan mencari daratan dan rindu menyentuh dasar lautan.

Setiap senyuman, setiap kerlingan mata dan setiap sentuhan yang ia berikan, selalu menjeratku semakin erat. Aku khawatir dengan kejatuhan hatiku yang begitu cepat hanya akan membuatku kecewa. Tapi pada akhirnya aku tetap membiarkan diriku jatuh ke dalam gravitasinya.

Tiga hari sudah berlalu sejak insiden di Pulau Pisang. Luka-luka di punggungku juga sudah mulai kering, namun masih menyisakan keropeng jelek di sana. Aku bahkan terpaksa membiarkan Logan membantuku mengoleskan salep di punggungku setiap hari--tentu saja dengan cara yang masih pantas. Meskipun Logan tak pernah menunjukan perubahan sikapnya padaku, namun mau tak mau aku menyadari perubahan sikap pada Max.

Biasanya Max akan selalu berceloteh panjang lebar mengenai ini dan itu, tapi pada momen-momen tertentu, ia akan menatapku dan Logan dengan pandangan aneh. Lalu ia akan mengemukakan alasan apapun untuk meninggalkan kami berdua saja.

Misalnya saja malam ini, saat kami sedang bersantai di atas hammock. Kami berbincang tentang rencana Logan tentang langkah awal klub selancarnya. Ia ingin mengawalinya sebagai komunitas kecil seperti yang ada di Pantai Tanjung Setia. Logan berencana untuk menyewa satu rumah pantai di mana anggota klub selancarnya akan berkumpul setiap musim panas. Ketika aku mendukung rencananya dan memberi masukan tentang penggunaan media sosial untuk mempromosikan klub selancarnya dan Logan memuji saranku, tiba-tiba saja Max bilang ia mengantuk dan pamit untuk kembali ke kabin duluan.

Entah Logan tidak menyadarinya atau sengaja mengabaikannya, tapi ia tidak berkomentar apapun tentang hal itu.

Dalam sekejap kami kembali berduaan, namun berbeda dengan kali terakhir kami berdua di sini, kali ini tak ada suara tokek yang menakutkan. Hanya suara ombak dan serangga malam yang mengisi keheningan di antara kami.

"Kadang aku lupa kalau pantai tak pernah sama." gumam Logan, akhirnya memutuskan untuk memecahkan keheningan di antara kami.

"Hm?"

"Iya, pernahkah kau berpikir meskipun setiap pantai adalah kesatuan dari laut yang sama, tapi pantai-pantai itu tak pernah sama. Warna pasirnya, topografinya, ikannya, suhunya...mereka tak pernah sama."

Aku merapatkan cardiganku untuk menghalau dinginnya malam. Pertanyaan Logan membuatku memikirkan makna tersirat di baliknya.

"Aku tak pernah memikirkan hal itu." akuku.

Aku menunggu Logan menjelaskan pertanyaannya lebih lanjut, tapi ia malah diam saja. Pandangannya menerawang jauh ke arah lautan yang gelap ditelan malam.

"Luna."

"Hm?"

"Kemarilah."

Aku membelak menatap Logan, menadapatinya berbaring miring di atas hammocknya, menatapku. Iris mata abu-abunya tampak lebih cemerlang di bawah sinar bulan.

That Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang