"The cure for anything is saltwater, sweat, tears or the sea."
Isak Dinesen
"Kamu mau kabur sampai kapan?" suara Ibuku yang serak terdengar dari speaker ponselku. Meskipun cukup sulit mendapatkan sinyal di daerah pesisir, tapi kekhawatiran yang sarat dalam suaranya dapat terdengar jelas olehku.
Aku menghela nafas dan menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur yang acak-acakan. Aku merasa tidak ingin repot-repot merapihkannya, toh akan berantakan lagi nantinya. "Luna enggak kabur kok ma. Luna cuma mau jalan-jalan aja, liburan."
"Pulanglah Nak, semua masalah itu bisa dibicarakan."
"Ma, Luna nggak mau ngomongin masalah ini, please."
"Ya sudah, kita enggak perlu bicara hal ini sekarang. Tapi ingat, cepat atau lambat kamu harus menyelesaikan masalah ini."
Bukannya aku tidak paham maksud ibuku. Sungguh, jika terkait dengan masalah itu aku adalah orang yang paling memahaminya. Tapi tidak seperti ini, tidak sekarang. Saat ini aku hanya ingin menikmati liburanku dan melupakan semuanya. Di sini, aku ingin menjadi Luna yang baru. Seperti kertas daur ulang. Dan apapun yang sudah terjadi biar saja terjadi, aku tak lagi mengharapkan sesuatu yang tak mungkin.
"Ma, kasih aku waktu 3 minggu. Setelah 3 minggu aku akan pulang ke rumah, jadi mama nggak perlu khawatirin aku ya, Ma."
"Baiklah. Kamu jangan lupa untuk terus kasih kabar ke rumah ya, Lun. Papa mu khawatir."
Aku mengeretakkan gigiku, berharap hal itu dapat memperpanjang kesabaranku. "Iya mama. Mama jaga kesehatan ya."
"Iya Nak, kamu juga di sana hati-hati. Pola makan dijaga, jangan sampai asam lambung kamu kumat."
"Iya Ma. Love you."
Aku memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu balasan dari ibuku. Aku hanya butuh sepuluh detik untuk menarik nafas panjang, dan semuanya akan kembali seperti sedia kala.
Seperti kertas yang di daur ulang.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8...
TOK, TOK, TOK.
Ketukkan di pintu kamarku membawaku kembali ke zona alfa, mengikis segala kabut yang sempat membuatku sesak. Setelah menyeka sudut mataku yang sedikit basah, aku berjalan kearah pintu kamar dan mendapati Max dan Logan berdiri di sana. Untungnya, kali ini mereka mau repot-repot mengenakan kaus oblong.
Max tersenyum lebar, memarekan deretan gigi putihnya yang terlihat kontras jika dibandingkan dengan warna kulitnya yang kecoklatan. "Siap untuk pesta barberkyu?"
Ah, aku hampir melupakannya.
"Tentu saja." Sahutku, mengangkat kedua bahu dengan acuh tak acuh. "Aku tak akan melewatkan kesempatan untuk makan gratis."
Kolam renang kecil yang biasanya sepi di malam hari, kini tampak ramai. Pelataran di sisi kolam digunakan sebagai tempat untuk memanggang barbekyu, sementara sisi lain kolam digunakan sebagai tempat makan. Kolam renang dihiasi dengan bola-bola plastik warna warni. Lagu Ricky Martin mengalun dari speaker-speaker yang menempel di dinding, menamah kemeriahan mala mini.
Aku, Max dan Logan memilih untuk duduk bersila di tepi kolam renang sambil menikmati jatah barbekyu kami. Sesekali Max akan menyapa pengunjung lain, salah satunya pasangan muda yang berasal dari Essex. Nama mereka adalah Leo dan Jema dan mereka berlibur di sini untuk satu minggu.
Selagi Max dan Logan asik mengobrol dengan mereka, aku memilih untuk mengambil root beer dari kotak pendingin dan mengobrol dengan Marry yang nampaknya masih curiga kalau-kalau aku tertarik dengan Max. Aku baru saja ingin membeberkan penyangkalanku ketika aku merasakan ponselku bergetar dari dalam saku.
![](https://img.wattpad.com/cover/111737725-288-k699287.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
That Summer We Met
عاطفيةMeet Luna... Gadis impulsive yang mencintai gelombang sebesar ia mencintai papan selancarnya. Selalu bertindak tanpa berpikir panjang. Mudah jatuh cinta dengan hal-hal baru, juga dengan orang-orang yang baru... Luna hidup untuk hari ini, tidak untuk...