T E N

32 6 2
                                        

"The sea is the sea, and you are just you"
Yuna

Aku tak menyangka akan menemukan Farouq berdiri di depan gerbang rumahku jam enam pagi di hari minggu.

Sejak kepulanganku ke Bandar Lampung, Farouq kembali menghubungiku. Dia bilang ingin membicarakan sesuatu, meskipun jelas-jelas aku mengatakan padanya bahwa tak ada lagi yang perlu kami bicarakan.

Farouq masih setampan yang ku ingat. Dada bidangnya yang dulu menjadi tempat favoritku untuk bersandar, rahangnya yang tegas yang selaku ku kagumi dan sorot matanya yang sendu kini tertuju padaku.

Aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Haruskah aku mengusirnya? Atau pura-pura tidak melihatnya dan masuk kembali ke dalam rumah?

"Please Lun," serunya dari balik pagar. "aku perlu ngomong sama kamu."

Aku berdiri ragu di depan pintu rumahku.

"Aku bakal tunggu di sini sampai kamu mau ngomong sama aku."

Mungkin lebih baik kalau aku mencari tahu apa maunya dan dia akan pergi. Jadi aku berjalan kearahnya, menunggu munculnya debar yang pernah ada tiap kali aku di dekatnya, namun debaran itu tak muncul sama sekali. Pemikiran ini kembali memumculkan wajah seseorang yang berusaha ku lupakan sejak dua minggu yang lalu. Wajah yang masih kerap muncul di dalam mimpiku, wajah yang ku harap mampu terkikis seiring dengan berjalannya waktu.

Aku keluar dari pagar karena enggan mengundangnya masuk. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans biru yang dari jauh saja terlihat mahal. Satu hal yang menonjol darinya adalah koleksi pakaiannya yang bermerk. Mungkin itu jadi salah satu daya pikatnya di mata perempuan lainnya dan mungkin dulu aku salah satunya.

"Kamu mau ngomong apa?"

Ia mengambil satu langkah mendekat kearahku. "Luna...aku mau minta maaf."

"Untuk apa?"

Farouq mengerenyit. "Aku tahu aku bertingkah seperti bajingan dan aku sungguh-sungguh menyesalinya. Aku enggak nyangka kamu sampai resign dari perusahaan karena perbuatanku. Tapi please, aku mau kita mulai lagi dari awal."

Seriously?!

Dari semua sifat Farouq, aku tak menyangka kalau ia sebatu itu untuk tidak menyadari betapa permintaannya sangat tidak masuk akal.

Dulu ia sendiri yang bilang kalau apapun yang terjadi di antara kami tidak berdasarkan komitmen. Dia sendiri yang meninggalkanku begitu ia menemukan petualangan barunya. Lalu sekarang, ia ingin memulai semuanya lagi dari awal?

Tidakkah terpikir olehnya kalau aku tidak sebodoh itu untuk jatuh ke lubang yang sama?

Jujur saja, perasaan apapun yang pernah kumiliki padanya sudah terkikis habis. Sesuatu yang ku dapatkan dengan menghancurkan hatiku lagi di bawah sol sepatu orang yang berbeda. Logan.

Farouq menganggap diamku sebagai pertanda adanya celah kesempatan baginya. Ia semakin mendekat kearahku dan meraih kedua lenganku. Sentuhannya membuatku berjengit dan tanpa ku sadari aku mulai membandingkan tangan lain, yang lebih hangat dan lebih besar. Bukan tangan Farouq, tetapi tangan orang lain.

Aku mengambil langkah mundur dan melepaskan diriku dari cengkramannya.

"Ku rasa kita enggak perlu bahas masalah ini lagi. Karena aku yakin kita sama-sama tahu apa jawabannya."

"Lun,"

"Maaf, tapi cerita kita sudah selesai jauh sebelum kamu tiba-tiba dapat ilham dan sadar kalau yang kamu lakuin ke aku itu sangat jahat." Aku memuntahkan setiap penggal kata bersama dengan setiap tetes kemarahan yang masih tersisa di hatiku tiap kali aku memutar kembali setiap kata yang ia ucapkan saat ia mengakhiri hubungan kami.

Di depan mataku, Farouq menjelma menjadi sosok yang tak pernah ku kenal. Tidak. Tak sekalipun aku melihat Farouq begitu kecewa, seakan ia baru saja kalah taruhan. Dan terlepas dari apapun yang sudah di lakukannya padaku, aku masih saja merasa iba padanya saat ini.

Aku menarik nafas panjang, berharap tindakan itu mampu untuk memadamkan emosiku yang nyaris meledak. Bagaimanapun aku toh tetap harus membuat Farouq mengerti kalau aku tidak ingin mengulanginya lagi.

"Aku cinta kamu, Farouq. Pernah mencintai kamu. Aku nggak pernah meminta apapun dari kamu selain hati kamu, tapi nyatanya permintaanku terlalu mustahil untuk dipenuhi."

Farouq meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. Suaranya lirih saat ia mengatakan kata-kata yang ku kira tak akan pernah ku dengar.

"Kamu mau hati aku? Ambil aja, Lun! Tanpa kamu sadari, kamu udah milikin hati aku sejak dulu."

Aku menggeleng dan menarik lepas tanganku dari genggamannya. "Aku nggak pernah memiliki hati kamu yang selalu kamu biarkan bebas. Kamu bahkan nggak tahu konsep dari memberikan hati ke orang lain itu seperti apa. Dan sekarang kamu mau kita balik kayak dulu? I'm sorry but you're a month too late."

Keningnya berkerenyit saat ia mencerna kata-kataku. Dan ketika kesadaran itu menghampirinya, ia menatapku dengan mata membelak.

Aku melihat sosok Farouq yang ku kenal penuh percaya diri dan selalu berbangga hati akan pencapaiannya, kini tampak terpukul seakan ia baru saja kalah tender. Aku tak ingin melihat kekecewaan yang memenuhi matanya.

Mungkin akan kejam jika aku mengatakannya dengan lantang, tapi aku berharap urusan kami selesai saat ini juga.

"I guess it's a goodbye then."

Aku meninggalkan Farouq yang mematung di tempatnya, berharap ia akan melupakanku sebagaimana aku sudah melupakannya.

Sayangnya, ada satu kenangan yang masih belum mampu ku enyahkan hingga detik ini, kenangan singkat yang menorehkan luka terlalu dalam. Dan aku masih menanti waktu memainkan keajaibannya, menghapuskan luka yang tak mampu ku sembuhkan hanya dengan bermodalkan tekad semata.

Tidak semudah itu.

Sinar matahari dan aroma angin menghantarkan kembali kenangan tentangnya. Suara tawanya terus terngiang di telingaku bagaikan kaset rusak. Setiap ucapan, setiap pandangan yang bertukar, setiap tawa, bahkan kenangan akan perpisahan tak mampu mengikis rasa yang terlanjur berakar dalam di hatiku. Karena dirinya aku kembali jatuh cinta, tapi kali ini cinta itu menghancurkanku.

-0-

That Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang