F O U R

54 13 5
                                    

Every sunset brings the promise of a new dawn

-Ralph Waldo Emerson-


Max mengecek air radiator mobilku, sementara Logan mengutak-atik GPS-nya. Hari ini kami akan jalan-jalan ke pekon—desa Tembakak. Mary menyarankan kami untuk mengunjungi Pulau Pisang yang cukup terkenal sebagai destinasi wisata utama di Kabupaten Pesisir Barat. Kami harus berkendara sekitar satu jam menuju dermaga Tembakak, kemudian menaiki perahu yang akan membawa kami ke pulau pisang. Meskipun sudah beberapa kali berlibur di sini, aku belum pernah mengunjungi Pulau Pisang yang tersohor.

Awalnya aku hanya ingin pergi pagi dan kembali ke penginapan siang harinya, tapi Mary bilang aku tidak akan bisa menikmati Pulau Pisang jika tidak bermalam di sana. Dengan murah hati, Mary bahkan tidak akan menghitung sewa kamar satu hari selama aku menginap di Pulau Pisang. Saat mendengar rencanaku yang ingin berangkat ke Pulau Pisang, kontan Max menawarkan diri untuk menemaniku tanpa malu. Dia bahkan mengajak Logan ikut serta. Awalnya ku pikir akan mengerikan jika berlibur dengan orang yang baru ku kenal, mana aku tahu apakah mereka berniat buruk atau tidak. Tapi, entah mengapa aku yakin Max dan Logan bukan orang seperti itu. Jadi, kubiarkan mereka ikut serta.

Kami harus berangkat pagi buta untuk mengejar jadwal keberangkatan perahu umum dari dermaga Tembakak. Kata Mary, jadwal penyebrangan hanya jam 7 pagi dan jam 2 siang saja. Jika lewat dari jam tersebut, kami harus menyewa kapal dengan harga yang lumayan mahal untuk menyebrang ke Pulau Pisang.

"Air radiator, minyak rem, semuanya dalam kondisi bagus." Max membanting kap mobilku hingga tertutup, ia menepiskan kotoran dengan tisu basah.

"Maaf tapi sinyal di sini susah, aku tidak yakin GPS nya menunjukan arah yang akurat." Sahut Logan.

"Tak masalah, kata Marry kita hanya perlu mengikuti jalan utama."

Aku membantu Max mengangkut papan selancar kami ke bagian atap mobil dan mengikatnya dengan erat agar tidak jatuh di tengah jalan, sementara Logan mengangkut ransel-ransel kami ke dalam bagasi mobil. Logan yang ternyata memiliki SIM internasional dan mampu mengendarai mobil dengan stir di sebelah kanan, berbaik hati untuk bertugas di balik kemudi. Mereka menugaskanku menjadi VJ sepanjang perjalanan, sedangkan Max dibebas tugaskan di kursi belakang.

Kami menyempatkan diri untuk mengisi bensin dan belanja makanan ringan di mini market sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Logan menyetir dengan kecepatan yang cukup—tidak terlalu lamban tidak juga terlalu cepat. Justin Bieber menyanyikan Despacito dari speaker mobilku, tak ada satupun dari kami yang mampu mengikuti nyanyiannya kecuali Max yang sudah begitu fasih dalam menyanyikan bagian yang berbahasa Spanyol.

Aku membuka jendela lebar-lebar, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku dan menerbangkan rambutku. Kelebatan pemandangan rumah adat warga yang berupa rumah panggung yang kami lihat sejak meninggalkan Sunny Side, perlahan berganti menjadi hamparan sawah yang luas dan sudah menguning.

"Wow, rasanya seperti melintas di tengah-tengah permadani benang emas." Gumam Logan kagum. Ia bahkan mengurangi kecepatan untuk menikmati pemandangan di luar jendela.

"Tanaman gandum lebih tinggi, man." Kata Max dari belakang.

"Tidak, itu berbeda. Ini sangat indah." sebelah tangan Logan menyodorkan ponselnya padaku. "Tolong ambilkan photoku yang sedang mengemudi. Pastikan hamparan sawah di luar jendela terlihat jelas, Okay?"

"Aye, aye captain." Aku menyeringai dan mengambil beberapa fotonya, sementara ia berpose bak model. Dengan rambut berantakkan tertiup angin, kaca mata hitam bertengger di atas hidungnya yang mancung dan bakal janggut yang memenuhi rahangnya, menciptakan bayangan gelap disekitarnya.

That Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang