N I N E

30 5 2
                                    

Not all stars belong to the sky
N.N


Belum pernah aku begitu takut akan hari esok. Aku mendapati diriku merasakan kekhawatir tiap kali matahari terbenam dan merasa marah saat matahari terbit.

Aku membenci tiap pergantian waktu yang membawaku semakin dekat pada akhir kebersamaanku dengan Logan.

Tidak bisakah waktu berhenti saat ini saja?

Berhenti di detik ini saja, di mana kami berbagi hammock, selimut dan headset. Jari-jari saling bertautan, dan menatap gerak bibirnya yang ikut mendendangkan lagu 'I will' milik The Beatles yang sedang kami dengarkan.

Aku bahkan merindukan suara tokek yang malam ini sama sekali tak terdengar suaranya.

Langit malam ini cerah tak berawan. Rasi bintang terlihat jelas. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut yang menderu.

Max sudah pergi ke kabinnya sejak satu jam yang lalu. Entah bagaimana, aku rasa ia tahu kalau aku dan Logan membutuhkan waktu berdua.

Atau waktu untuk berduka.

"Apa kau pernah membayangkan kalau bintang-bintang itu seperti ketombe di atas pakaian hitam?" tiba-tiba saja Logan membuka mulutnya dan mengatakan hal yang paling tidak romantis untuk diucapkan.

Aku memutar mataku dan meninju dadanya pelan. "Menurutku, mereka itu seperti debu berlian di atas sutra hitam."

"Sepertinya sama saja." Logan tertawa saat aku menyikutnya pelan.

Kami kembali dalam diam dan menikmati suara John Lennon yang sekarang sedang meneriakan ungkapan cintanya dalam lagu Michelle.

Sesekali Logan memainkan ujung rambutku diantara jari-jarinya sementara pandangannya menerawang jauh. Aku bergelung di sampingnya, seakan tiap lekuk tubuh kami merupakan kepingan puzzle yang diciptakan berpasangan. Malam ini segalanya terasa benar...sekaligus terasa salah.

Haruskah aku menanyakannya?

Berkali-kali aku mempertimbangkan apakah aku harus membicarakan hal ini padanya. Aku memikirkan berbagai kemungkinan jawaban darinya, tapi semuanya bukan jawaban yang kuinginkan. Aku mulai lelah terus merasa terombang-ambing dalam ketidak pastian, hingga akhirnya aku membulatkan keputusanku untuk membicarakan tanda tanya besar dalam hubungan kami selama satu bulan terakhir ini.

"Logan," aku menarik nafas dalam, menyesapi setiap aroma tubuhnya, menyimpannya dalam ingatan. Karena kelak, cepat atau lambat aku akan melupakan aroma tubuhnya, melupakan garis senyum di wajahnya, melupakan suaranya, hingga akan tiba saat di mana ia hanya sepenggal kenangan yang tak bisa kuingat wujudnya.

Ia menarikku merapat, hingga kepalaku bersandar nyaman di ceruk lehernya. "Hm?"

"Besok aku akan kembali ke Bandar Lampung."

Logan terdiam cukup lama hingga ku kira ia tidak akan menjawabku. "Aku tahu."

Bukan kata-kata itu yang ingin ku dengar darinya. Tidak saat ini, tidak malam ini.

Aku mencengkram T-shirt hitamnya, seolah hal itu mampu memeberikan kekuatan untukku.

"Aku tahu kita belum pernah membicarakan ini sebelumnya, tapi...kita harus membicarakannya."

Logan mengangguk pelan, namun tidak mengucapkan apapun. Ia terus mengunci bibirnya, sementara pelukannya tak lagi terasa hangat. Aku merasakan keengganannya dalam membicarakan hal ini, aku merasakan semua hal yang tak pernah ku inginkan. Tapi bagaimanapun akhirnya, aku harus menanyakan hal ini padanya. Karena aku membutuhkan kepastian bahwa tempat ini bukanlah Wonderland dan aku bukanlah Alice.

That Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang