T W O

69 17 16
                                        

"I followed my heart and it led me to the beach"

N.N

Matahari sudah hampir tenggelam saat aku kembali ke tepian. Kulitku sudah terlihat beberapa tingkat lebih gelap dari sebelumnya dan buku-buku jariku keriput karena terlalu banyak menghabiskan waktu di atas air. Untunglah aku bukan termaksud orang yang memusingkan perawatan kulit. Menurutku, apapun warna kulitku asalkan aku tetap bersih dan terlindung dari penyakit kulit, tidak masalah. Beda hal nya dengan adikku, Ghea, yang selalu menjadwalkan kunjungan spa nya setiap bulan.

Selain ombaknya, salah satu daya pikat pantai-pantai di sepanjang pesisir barat adalah pemandangan sunsetnya. Cahaya keemasan matahari membanjiri seluruh permukaan laut, bahkan pasir pantai, papan selancar, hingga kulitku seakan memancarkan cahaya keemasan yang begitu gemilang. Sejak pertama kali datang ke tempat ini, aku selalu merindukan sunset nya.

Aku menghempaskan bokongku di atas pasir dan bertumpu pada kedua lenganku, menghadap ke lautan. Sebagian besar wisatawan sudah kembali ke penginapan mereka masing-masing, hanya ada beberapa orang yang duduk-duduk menikmati sunset sepertiku, dan beberapa ekor anjing yang berlarian mencari makanan sisa di atas rumput.

Aku menangkap gerakan para peselancar yang sedang kembali ke tepian terlihat dalam siluet-gelap yang tertelan cahaya keemasan. Dari jauh, mereka tampak bagaikan makhluk mistis lautan yang anggun, mengendarai ombak seakan ombak bergerak atas perintahnya. Lama aku memerhatikan satu siluet, mengagumi caranya bermanuver di atas ombak, bagaimana dengan indahnya ia menjatuhkan diri ke dalam air setelah pipa ombaknya berakhir, dan muncul kembali ke permukaan dalam posisi telungkup di atas papan.

Lamunanku terputus saat aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku. Aku mendongak, menatap sosok laki-laki yang taka sing bermandikan cahaya keemasan. Rambutnya lembab, masih basah, tapi kali ini ia tidak bertelanjang dada sebagaimana pertama kali aku melihatnya. Ia mengenakan T-shirt hitam dan celana senada.

Dia adalah laki-laki dengan tato gelombang di bagian dalam lengannya, yang menangkapku dalam kedaan yang sangat memalukan. Laki-laki yang tinggal di samping kabinku.

"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya dalam bahasa Inggris yang luwes.

Sejujurnya aku tak tahu harus merasa apa selain rasa malu. Tapi akan sangat tidak sopan jika aku mengabaikannya. Karena itulah aku mengangguk, mempersilahkannya untuk duduk di sampingku.

"Bagaimana ombakmu hari ini?" tanyanya tanpa menolehku. Tatapannya lurus ke batas cakrawala di mana matahari tenggelam.

"Ramah." Jawabku seraya memainkan gelang anyaman yang melingkar dipergelangan tanganku. "Bukan ombak yang ku harapkan, tapi...cukup menyenangkan."

Kali ini ia menoleh kearahku. "Memangnya ombak seperti apa yang kau harapkan?"

Aku bergedik. "Aku akan tahu saat aku mendapatkannya."

Ia menatapku dengan bingung, menggelengkan kepalanya seraya terkekeh pelan dan kembali menatap lautan. "Lucunya, kau mengingatkanku pada seseorang."

"Hm?"

"Temanku. Kau mengingatkanku padanya. Dia juga suka berbicara aneh tentang ombak, lautan dan selancar—jangan tersinggung." Jelasnya. "Hanya saja aku tidak begitu pandai menganalogikan apapun."

Aku tertawa dan menatapnya tidak percaya. Laki-laki ini sungguh luar biasa atas kejujurannya. Terang-terangan ia bilang aku aneh. Tapi anehnya, aku merasa semakin tertarik untuk mengenalnya.

"Yah, mungkin kau kurang berbakat untuk itu." Kali ini giliranku yang mengangkat alis tinggi-tinggi. "Jangan tersinggung."

Ia tertawa dan menyikutku pelan.

That Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang