E I G H T

31 5 1
                                    

As endless as the ocean,
As timeless as the tides,
-bilabongwomen-

"Kau tahu apa maksud dari tulisan itu?"

Aku mengalihkan perhatianku dari novel Supernova di tanganku ke salah satu hiasan dinding yang di gantung di ruang makan. Logan sedang menunjuk papan selancar yang sudah patah dengan 'DON'T TRUST JIMMY' yang ditulis besar-besar dengan cat merah darah.

"Apa itu semacam lelucon?" Max ikut bertanya meskipun mulutnya masih penuh dengan makan malamnya. "Karena kalau benar, aku tidak lihat di mana letak lucunya."

"Apa Jimmy ini semacam hiu atau apa?" tanya Logan lagi.

Aku menggedikkan bahuku. "Aku juga tidak tahu, aku tidak pernah menanyakannya."

Ruang makan malam ini tidak terlalu ramai. Hanya kami dan satu keluarga besar yang sepertinya berasal dari Argentina jika menilik dari ciri fisik dan bahasanya. Sementara tamu lainnya kemungkinan sudah kembali ke kabin mereka masing-masing. Sebagian besar tamu lokal sudah check out. Kata Mary, tamu lokal memang biasanya hanya menginap untuk berakhir pekan saja.

"Jadi, kemana tujuan kita besok?"

Ya, sekarang kami sudah resmi menjadi trio. Setelah aku dan Logan menyelesaikan urusan perasaan kami, tidak ada lagi alasan bagi kami untuk tidak memburu ombak bersama.

Hari ini kami menikmati gulungan ombak di Ujung Bocur, salah satu spot selancar terbaik di pantai Tanjung Setia. Karena medan di Ujung Bocur cukup sulit mengingat ombak yang tingginya hampir mencapai 2 meter, belum lagi karang-karang dangkal dan banyak bulu babi, maka hanya Logan dan Max yang berselancar. Bagaimanapun mereka jauh lebih berpengalaman. Aku lebih banyak berjemur di tepian seraya mengamati mereka dari kejauhan. Sebesar apapun keinginanku untuk mencicipi ombak di Ujung Bocur, keselamatan tetap nomor satu.

"Bagaimana kalau ke Ujung Bocur lagi?" saran Logan. Ia mengedipkan matanya ke arahku, mengajakku untuk mengamini usulnya.

Max yang sudah selesai menghabiskan isi piringnya melirikku sekilas sebelum kembali menatap Logan. "Uh...lalu bagaimana dengan Luna? Dia kan  belum bisa berselancar di sana."

Buru-buru aku mengibaskan tanganku dengan cuek. "Tidak masalah, aku tidak keberatan kok. Lagipula aku masih bisa berselancar di sini nanti sore."

Seketika wajah Logan berseri-seri. Sangat terlihat jelas kalau ia begitu menyukai Ujung Bocur. Kulitnya yang biasanya kemerahan, sekarang terlihat benar-benar merah terbakar matahari.

"Thanks sweetie." jantungku nyaris melompat keluar dari mulutku saat Logan mengaitkan lengannya ke bahuku dan menarikku mendekat lalu mengecup pelipisku.

Max mengerenyit dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Ugh menyingkir dari hadapanku! Menjijikkan."

Yeah, incase you haven't notice it, we're officialy dating...

*

Aku membentangkan kain pantai di atas pasir berumput, tepat di bawah pohon besar yang menciptakan bayangan teduh di bawahnya. Cukup nyaman bagiku untuk menghabiskan waktu sekedar duduk-duduk dan menonton Logan dan Max berselancar.

Logan dan Sam menyisir wax di papan selancar mereka, saling bertukar pendapat tentang ketinggian ombak hari ini, dan menertawakan lelucon garing mereka yang tak pernah ku pahami.

Mereka sendiri terlihat konyol dengan T-shirt putih bertuliskan 'I Heart Lampung' yang di kenakan Max dan T-shirt hitam dengan sablon 'Mekhanai Toho' yang dipakai Logan. Seandainya saja Logan tahu kalau 'Mekhanai Toho' memiliki arti 'bujang tua', aku tak yakin ia masih mau memakainya.

Wajah mereka penuh dengan polesan sunblock, membuat mereka makin terlihat konyol. Aku mengingatkan diriku sendiri untuk membawa kamera polaroidku nanti. Aku ingin mengabadikan momen kebersamaan kami di dalam scrapbook yang selalu ku bawa di dalam tasku.

Sebagian besar scrapbook ku berisi dengan kenanganku dan Farouq, dan mungkin nanti aku akan menyingkirkan semuanya, sebagaimana ia menyingkirkanku dari hidupnya.

Aku tahu, kebersamaanku dan Logan juga tak lebih dari sekedar sumbu pendek yang cepat habis terbakar. Setelah satu bulan liburanku habis, aku akan kembali ke Bandar Lampung dan Logan pun akan kembali ke negaranya. Tak peduli secanggih apapun teknologi komunikasi saat ini, tak akan mampu meyakinkanku bahwa hubungan kami bisa terus berlanjut. Logan bahkan tak pernah membahas akan dibawa kemana hubungan kami setelah kami meninggalkan Labuhan Jukung.

Membayangkannya saja membuatku mampu melihat masa depan hatiku yang akan kembali patah.

'Whatever happened in Wonderland, stays in Wonderland.' getirku.

Logan dan Max kembali ke tepian dengan kulit merah terbakar matahari. Meskipun begitu senyuman lebar secerah matahari terpahat di bibir Logan.

Setelah menancapkan papan selancarnya di pasir, ia menghempaskan bokongnya di sampingku dan melingkarkan lengannya yang basah di sekitar bahuku sehingga bagian atas blouseku ikut basah.

"Ku kira kau tidak ingin kembali ke tepian lagi." candaku seraya mengamati Logan yang sedang menenggak lemonade dari kalengnya. Aku memang meminjam cooling box dari Mary untuk mwmbawa beberapa minuman ringan dingin.

"Kau tak bisa memisahkan poseidon dari lautan." seloroh Max. Ia mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk yang disiapkannya di dalam ranselnya.

"Dan siapa yang kau maksud dengan Poseidon?"

Max menyeringai lebar. Ia sengaja merenggangkan otot-ototnya dengan gerak perlahan bak binaragawan dalam iklan suplemen pembesar otot.

"Hentikan, kau terlihat menggelikan!" seru Logan, namun ia tertawa juga melihat tingkah konyol temannya.

Kami menghabiskan sore di pinggir pantai, mendengarkan Logan yang terus berceloteh tentang keseruan ombak di Ujung Bocur, tentang konsep klub selancar impiannya, tentang keinginannya untuk memperpanjang masa liburannya di sini.

Meskipun ia membicarakan tentang lama kunjungannya, ia masih tidak membahas tentang bagaimana ia menginginkan hubungan kami setelah masa itu berakhir. Dan aku tak bisa menghentikan diriku untuk bertanya-tanya apakah hanya aku yang merasakannya?

Karena jika ada seseorang yang menanyakan akan satu hal yang tak pernah ku mengerti dari perihal mencinta, maka jawabannya adalah adanya keraguan yang lekat di setiap keyakinan.

Dan saat ini keraguan itu mulai berakar dalam.

-0-

That Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang