And the feeling i thought was set in stone
It slips through my fingers
And I'm trying hard to let go
But it comes and goes in waves
-Dean Lewis-
Sudah tiga jam aku berkutat di depan laptopku, mengirim curiculum vitaeku ke hampir semua perusahaan yang ku temukan di situs pencari kerja. Setelah resign dan menguras tabunganku untuk liburan, aku harus mencari pekerjaan lagi.
Seandainya saja mencari pekerjaan tidak sesulit ini.
Tak lama, sesosok gadis bertubuh ramping dengan rambut pendek pixie menghampiriku dengan seringaian lebarnya. Ia melangkah lebar-lebar membuat anting-anting tassel nya bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Haaiiiiii Luuuuuunnnnaaaaaaa...." sapanya heboh, membuat separuh pengunjung cafe memutar kepala mereka kearahnya. Yah, begitulah Sonya, selalu senang making scene. "Maaf ya, maaf telat dikit. Biasalah, urusan sama klien."
Ia melempar tas selempang bermerk-nya ke bangku kosong di mejaku sebelum kemudian menghempaskan bokongnya di bangku lainnya.
Aku mengenal Sonya sudah cukup lama. Malah bisa di bilang kami tumbuh dewasa bersama. Orangtua Sonya tinggal di sebelah rumahku ketika kami masih duduk di sekolah dasar hingga usia kami menginjak 15 tahun dan keluarga Sonya pindah rumah.
Setelah terpisah kecamatan, pertemanan kami tidak se-intens dulu. Hanya sesekali bertukar kabar melalui email atau telepon dan sesekali di saat kami tidak sibuk, kami hang out bersama. Ketika aku menghubunginya untuk meminta bantuan mencari kerja, dia dengan sangat murah hati meluangkan waktunya untuk bertemu denganku.
"Gimana target bulanan?" tanyaku. Sudah beberapa tahun belakangan ini Sonya bekerja di salah satu bank swasta di bidang marketing.
"Rebes lah. Lo sendiri gimana? Udah tau mau masukin lamaran ke mana aja?"
Aku memutar laptopku hingga menghadap ke arahnya. Ia mendekatkan wajahnya untuk membaca daftar nama perusahaan yang ku cantumkan ke dalam kolom tujuan di badan emailku.
"Jeez, lo desperate banget kayaknya."
"Yap, lo jenius." aku menghela nafas panjang. "Gue kadang lupa betapa impulsifnya gue. Selalu ambil keputusan tanpa pikir panjang."
Sonya melipat tangannya di depan dada. Matanya yang dipulas dengan eye liner bergaya cat eyes menatapku dengan curiga. Meskipun kami jarang menghabiskan waktu bersama, tapi Sonya tahu tentang apa yang terjadi antara aku dan Farouq. Dia bahkan menceramahiku dengan emosi penuh ketika aku mengundurkan diri dari perusahaan Farouq dan memutuskan untuk menguras tabunganku untuk 'kabur'.
"Jangan bilang lo nyesel karena resign dari perusahaannya si playboy cap terasi itu?!"
"Nope. Not at all." sahutku. Membayangkan aku masih bekerja di bawah Farouq saja membuat perutku melilit. "Lebih tepatnya karena gue terlalu boros."
Sonya berdecak mengejek. "Ya suruh siapa juga lo kabur jauh-jauh. Wajar aja, yang kabur bukan cuma lo, tapi duit di rekening lo juga kabur."
Aku mengerenyitkan dahi, sengaja mengabaikan ucapan Sonya dan kembali menekuni layar laptopku dan menutup pop up iklan yang bermunculan.
"Oh ya, gue denger di radio katanya mau ada Krui Pro ya bulan depan?" tanya Sonya lagi.
"Masa?"
Sonya mengangguk cepat. "Iya bener. Kompetisi selancar besar-besaran, katanya pesertanya banyak juga dari luar. Lo ikut gih."
"Ogah, skill selancar gue nggak setinggi itu." tolakku mentah-mentah. Selama ini selancar hanyalah hobi bagiku, lagi pula pengalaman selancarku belum sebanyak itu untuk mengikuti kompetisi selancar sekelas dunia.
Tapi mendengar nama Krui disebut-sebut, memercikkan rasa rindu di hatiku. Aku merindukan pantai-pantainya, pasir putihnya dan juga ombaknya. Selain itu, aku merindukan sesuatu--sesorang yang tak ingin kuakui adanya, yang tak ingin ku rindukan.
"Hm...gimana kalau bulan depan kita ke sana?" Sonya menjentikkan jarinya di depan wajahku dengan mimik jahilnya. "Gue kan belum pernah ke sana. Sekalian cuci mata lah, hehe."
Aku mengerenyitkan hidungku. "Ngapain? Kan gue baru aja pulang dari sana."
Meskipun aku menolak, tetapi argumenku terdengar lemah bahkan di telingaku sendiri dan Sonya menangkapnya. Gadis itu tahu kalau ajakannya adalah sesuatu yang sulit untuk ku tolak.
"Ayolah...bulan depan gue mau cuti seminggu kok. Kan lo juga masih nganggur." Sonya nyaris melompat di tempat duduknya penuh semangat. "Yuk sih...pretty pretty please?"
Sebagian besar hatiku ingin menolaknya karena nantinya aku hanya akan terluka oleh kenangan. Tapi di sisi lain, meskipun aku enggan mengakuinya, aku merindukannya.
Pantai dan kenangan tentang Logan.
Mungkin saja garis takdir takkan pernah membawa kami pada jalan yang sama untuk kali kedua. Tetapi saat ini aku merasa seperti musafir yang kehausan di tengah gurun gersang dan kenangan tentangnya bagaikan setetes air yang tak mampu ku tolak untuk menebus dahaga.
Aku tahu aku akan menerima tawaran Sonya bahkan sebelum aku memikirkannya masak-masak.
Meskipun Sonya bisa menangkap jelas reaksiku, tetap saja aku memasang wajah malas dan menyilangkan kedua tanganku di depan dada, enggan menunjukkan perasaanku yang sebenarnya pada Sonya.
"Ya deh, tapi nggak seminggu juga ya di sana." Jawabku dengan nada bosan, berkebalikan dari debar di dada dan antipasi yang mengencang di dasar perutku. "Lo kan tau rekening gue lagi kemarau."
Senyuman sumringah Sonya mengembang, mengingatkanku pada bunga matahari. Gadis itu bertepuk tangan kegirangan.
"Tenang aja, kalau ada bule yang jadi pacar gue nanti lo gue traktir deh." Guraunya.
Aku mengabaikan sengatan tajam di hatiku dan ikut tersenyum bersamanya. Aku harap Sonya tak akan mengalami hal yang sama denganku.
-0-
KAMU SEDANG MEMBACA
That Summer We Met
Lãng mạnMeet Luna... Gadis impulsive yang mencintai gelombang sebesar ia mencintai papan selancarnya. Selalu bertindak tanpa berpikir panjang. Mudah jatuh cinta dengan hal-hal baru, juga dengan orang-orang yang baru... Luna hidup untuk hari ini, tidak untuk...