Chapter 28: Againts The Time

9.5K 501 14
                                    

MARISSA STRIX'S POV

Mungkin memang inilah saatnya. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan selama ini yang membuat Tuhan sungguh membenci aku. Tapi yang aku tahu satu adalah, hidupku memang ditakdirkan untuk menderita.

Ketika aku baru merasakan yang namanya bahagia... kebahagiaan itu ingin dirampas kembali.

Semuanya terasa sangat cepat. Ketika aku bertemu dengan Grayson lagi, lalu ketika satu persatu misteri terbuka. Ketika aku jatuh cinta lagi kepada lelaki yang sama. Ketika aku mengatakan aku cinta dia.

Bahagia.

Terlalu bahagia.

Itulah mengapa aku selalu takut dengan kebahagiaan. Aku tahu bahwa kebahagiaan itu hanya sesaat dan kadang maya. Tidak ada yang abadi, semuanya akan hilang pada waktunya.

Tapi kita para manusia terus-menerus melihat hal yang baik, terus-menerus mencari kebahagiaan. Sampai dia lupa bahwa hidup ini bagaikan tuts piano.

Untuk membuat satu lagu yang indah dibutuhkan suara dari kedua tuts. Tuts putih yang melambangkan kebahagiaan dan tuts hitam yang melambangkan kesedihan, keputus asaan, kemarahan.

Tanpa keduanya, maka tidak akan bisa tercipta melodi yang indah.

Di menit yang tersisa ini, aku hanya bisa berpasrah dan mengingat-ngingat tentang hal-hal indah yang pernah aku lalui dengan Grayson maupun semua orang yang aku cintai.

Memori tentang pertama kali aku menyelamatkan Grayson terlintas dibenakku. Lalu dilanjutkan dengan pelarianku dari dia. Lalu ketika aku mogok makan, setelah itu melihat ruang rahasia. Membaca buku diary-ku sendiri.

Aku terkekeh dengan memori itu.

Lalu dilanjutkan dengan makan malam dengan Grayson di Hawaii. Ketika kami bernyanyi bersama dengan alunan piano.

Kemudian segala senyuman yang diberikan oleh Grayson walaupun dia pelit senyum. Lalu hangatnya pelukan Grayson ketika aku sedang sedih atau kedinginan. Ketika dia mengomeliku karena ceroboh.

Atau ketika dia membawaku ke negri penuh cinta, Paris.

Haha. Sepertinya baru kemarin aku merasakan peluru itu menembus perutku di Taman Liberty. Dan di sinilah aku.

Menunggu ingatan bahagia itu dihapus.

Kalian tahu satu kata apa yang orang genggam ketika mereka merasa putus asa?

Harapan.

Ya, aku hanya bisa berharap bahwa mungkin Grayson akan menerobos pintu di depanku ini dan menyelamatkanku dari mimpi buruk ini.

Atau mungkin ketika aku bangun, aku ternyata sudah kebal dengan obat-obatan apapun atau treatment apapun yang diberikan oleh para dokter itu untuk membuatku melupakan segalanya.

Memang aku sungguh naif... tapi apalagi yang bisa dipegang oleh orang yang putus asa?

Tidak terasa air mataku sudah menetes ke pahaku.

Tidak berapa lama kemudian aku mendengar pintu dibuka dan aku merasakan mereka melepas tali yang mengikat tanganku di kursi. Lalu mereka menarikku berdiri untuk mungkin pergi ke ruang tindakan sekarang.

Aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan terus memikirkan tentang segala hal yang boleh kupikirkan sebelum ingatanku dihapus.

The Heart of a Beast (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang