^Marissa's picture, dia blasteran so yea!
MARISSA STRIX'S POV
Tidak ada yang lebih menyenangkan dari kabar yang mommy kasih tau. Yaitu aku akan segera pergi ke Amerika Serikat! Hello.. it's really a big deal apalagi jiwa petualangku ini sudah menanti-nanti sejak lama untuk momen ini.
Akhirnya diusia 17 tahun orangtuaku sudah cukup yakin dengan kemampuanku mengurus diri.
Ya bisa dibilang aku adalah anak orang kaya sehingga pergi-pergi ke luar negri bukanlah suatu masalah. Tapi yang luar biasa adalah aku akan pergi sendiri tanpa orangtuaku! Ya walaupun tetap aku ikut tur sih, tapi kan gak ada orangtua yang cerewet jadi aku tetap senang!
Aku dengan segera pergi ke kamarku untuk mengepak semua perlengkapan yang kubutuhkan.
"Yep.. baju udah, CD udah, passport udah, kayaknya semua udah," gumamku dalam hati. Aku pun segera pergi ke bandara untuk bertemu dengan pemandu wisata pribadi yang disewa orangtuaku.
Saat perjalanan entah mengapa aku memiliki perasaan aneh ini, perasaan senang namun ada sedikit kegelisahan. Akupun akhirnya memegangi kalung kristal pemberian nenek-ku sebelum ia meninggal, kebiasaanku ketika aku gelisah.
Sesampainya aku di bandara, aku langsung disambut oleh pemandu wisataku yang bernama Liza. Umurnya hanya 5 tahun diatasku jadi rasanya seperti berjalan-jalan dengan kakakku.
Tapi ya untuk perjalanan kali ini sepertinya aku akan melakukan sesuatu yang gila. Hmm.. akan kupikirkan lagi rencanaku itu
"Hey babygirl! Udah siap? Yuk kita langsung boarding." Sahut Liza antusias. Kami pun segera berjalan ke section first class dengan semua barang dibawakan oleh pegawai first class tersebut.
Setelah 2 jam menunggu akhirnya kami menaikki pesawat. Ketika aku duduk rasanya semakin gelisah, seperti ada sesuatu yang menungguku di sana. Setelah 19 jam yang melelahkan, kami akhirnya mendarat di New York.
"Okay, Marice our schedule adalah check-in ke hotel dulu kay? Pasti kamu cape kan?" Tanya Liza.
Aku sebenarnya tidak mendengar apa yang Liza katakan tapi tetap mengangguk. Aku hanya bisa melamun karena perasaan gelisah ini seperti memakanku pelan-pelan. Aku menggenggam kalung pemberian almarhum nenekku dengan kuat.
Sesampainya di hotel aku pun langsung menyalakan wi-fi disana untuk mengecek status-status baru atau berita baru di Jakarta. Sebenarnya tentu saja aku bisa mengecek di dalam pesawat karena ada wi-fi khusus untuk penumpang kelas pertama dan bisnis, namun aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan tidur.
Aku menerima banyak tag-an di instagram dari teman-temanku. Namun apa yang kubuka bukanlah sesuatu yang aku harapkan.
Di situ.. adalah.. foto.. RANDY! Pacarku yang menciumi cewek lain. Dan cewek lain itu adalah musuh besarku. Kecewa, marah, sedih. Itu yang kurasakan, emosiku bercampur aduk. Ternyata ini perasaan gelisah yang kualami? Way to go untuk 1 jam pertamaku di Amerika.
Merasa kesal, aku pun pergi ke luar kamar untuk refreshing. Aku perlu udara segar, disini terlalu pengap. Gak bisa begini aku harus cari hiburan.
Aku turun dari hotelku yang berada di lantai paling atas dan berjalan keluar hotel. HP ku tadi? Sepertinya sudah almarhum, hmmm.. aku harus membeli HP baru nanti..
Aku hanya bisa melamun dan merasakan basah di pipiku. Seribu satu pikiran ada di benakku.
Aku berjalan tanpa memedulikan arah dan tatapan orang-orang bule yang antara simpati, WTH, freak, dan masih banyak lagi. Toh, mereka juga orang asing.
Tanpa kusadari, aku berada di depan patung Liberty. Huh, di jadwal tur-ku memang ini menjadi salah satu objek wisata yang akan aku datangi.
Di tempat ini aku kira aku bisa menjadi orang paling beruntung sedunia bisa ke Amerika. Tapi realita menabrakku secara keras. Trip yang kukira akan menjadi salah satu yang terbaik sudah hancur.
Suasana di area patung Liberty ini sepi karena memang sekarang sudah jam 12 dini hari di New York. Aku yang sudah lelah dari penerbangan tadi sekarang makin lelah secara emosional.
Aku duduk menghadap ke Susquehanna River. Terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri sampai akhirnya aku mendengar suara yang aku pikir hanya ada di TV.
Suara tembakan. Bukan. Bukan tembakan biasa. Tapi tembakkan sebuah pistol. Ya, tepat sekali pistol.
"DUAR.. DUAR.. DUAR.."
Insting bertahan hidupku akhirnya bangkit. Aku berusaha untuk menahan teriakkanku dan mencari tempat yang aman di sekitaran taman ini. Sampai akhirnya aku berjongkok di belakang sebuah dinding yang lumayan besar.
"Oh my.. you'll never survive this Marco, you think I'm scared of public? We'll see about that." Seorang laki-laki bertubuh besar dan tinggi yang wajahnya membelakangiku. Ia mengenakan jas hitam yang terlihat mahal.
Dan ia memegang pistol yang diarahkan ke pria bernama Marco Marco itu. ASTAGA! Marco itu sudah berdarah-darah dengan wajah yang hancur seperti karena ditonjok berkali-kali.
"Please forgive me mister! I... I'll pay it in 3 days! Please have mercy! I have a wife and 3 children." Pinta Si Marco itu.
Walaupun aku tidak bisa melihat wajah si pria bertubuh besar itu, tapi aku tahu bahwa badannya menegang.
"Do you really think that I care about your f*ckin' lovely family you have? Well sorry Marco but I ain't see any love that you had when you banging my SISTER!" Bentak pria itu yang membuatku sedikit melompat dari tempatku jongkok sekarang.
Iya iya aku tahu ini bodoh. Mengapa aku malah masih di sini dan tidak lari saja. Ya.. jawabannya karena aku penasaran. Kalau kalian di posisiku juga pasti kalian ingin tahu apa yang terjadi kan?
Aduh, dimana para polisi? Aku yakin itu tembakkan bisa didengar dari jarak 1 kilometer.
Saat-saat seperti inilah adalah saat-saat aku menyesali tindakkanku. Handphone-ku dengan gampangnya kutinggalkan di atas ranjang. Tetapi sesaat setelah aku berpikir seperti itu suara tembakkan mengudara di tempat ini.
Tidak kusangka bahwa aku akan melihat sebuah kematian. Bukan. Bukan kematian biasa. Tetapi kematian dengan mata tertuju padamu. Aku pun harus menutupi mulutku dari berteriak.
Aku hanya bisa berjongkok di sana tanpa bergerak. Tanpa bernapas. Tanpa mengedipkan mata.
Lalu pria yang membunuh Marco itu hanya mengelap pistolnya. Tiba-tiba aku melihat sebuah pergerakan dari semak tidak jauh di depanku.
Yang aku lihat cukup membuat jantungku berhenti berdebar, sebuah ujung snipper tertunjuk ke punggung pria pembunuh Marco itu.
Entah apa yang kulakukan, aku langsung berlari dan melindungi pembunuh Marco itu dan yang kurasakan hanya panas. Panas di sekujur tubuhku.
Tanpa kusadari, aku telah terjatuh ke pelukan pembunuh itu. Dia meneriakkan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang ia teriakkan karena rasa panas ini.
Dunia pun rasanya seperti bola. Berputar dan tidak jelas. Yang kupikirkan sebelum jatuh ke tidur yang panjang adalah "such a memorable trip".
------------------------------------------------------
Hai! So how is it? It's the first chapter and I really don't know how I did. Maaf ya jika ada kesalahan dalam ejaan ataupun typo. Ini bener-bener karya aku yang pertama. So please give it a try🙃

KAMU SEDANG MEMBACA
The Heart of a Beast (COMPLETED)
Roman d'amourMarissa Strix. Cewek petualang berusia 17 tahun yang baru saja dikasih pergi ke Amerika. Hari yang dinanti-nantikannya. Tapi apa jadinya jika pada 1 jam pertamanya saja sudah menjadi 1 jam terburuk dalam hidupnya? Belum lagi kejadian di depan patung...