Brukk!
Tubuh Ali tersungkur di lantai yang dingin. Ia menarik napas panjang, mencoba menghirup udara sebanyak mungkin. Tangan kanannya meremas dada kirinya yang sesak. Sedangkan tangan kirinya berpegangan pada tralis. Ia mencoba berdiri, namun gagal. Pada akhirnya ia hanya terduduk lemas sambil bersandar pada tralis.
Kenapa seburuk itu? Ali cuma naik tangga ke lantai dua untuk masuk ke kamarnya. Biasanya juga seperti itu. Tapi kenapa kali ini aksinya itu malah membuatnya kesakitan? Apa itu artinya penyakitnya semakin parah? Apa itu artinya sebentar lagi Ali mati?
Iya, Ali memang pingin mati. Biar tidak usah merepotkan banyak orang lagi. Tapi di sisi lain Ali ingin tetap hidup, untuk mengabulkan harapan banyak orang yang menginginkannya sembuh.
Punggungnya sakit, kepalanya pusing dan pasokan udara di paru-parunya mulai menipis. Mata Ali juga mulai berkunang-kunang, tapi ia berusaha untuk tetap sadar sebisa mungkin. Yang ia butuhkan sekarang cuma minum obat, tidur dan semuanya akan normal kembali saat ia bangun.
"Ali!" pekik seseorang.
Ah siapa malaikat penolongnya kali ini. Saat itu Ali sudah tergolek lemas di lantai, tetapi matanya maaih bisa menangkap wajah Nino walaupun samar.
Jujur, Ali sebenarnya ingin menepis tangan Nino yang mengangkat badannya. Ali benci pada orang yang menjelekkan adiknya sendiri di mata orang lain. Ali benci pada orang yang membuat Prilly tidak fokus saat sedang bicara dengannya. Ali benci. Tapi saat itu badannya sudah terasa ringan dan semuanya berubah gelap.
***
Mata Ali terbuka, tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Cowok itu mengerang karena kepalanya yang masih pusing, ditambah perutnya yang mual. Ali nggak tahu mual itu datang dari mana, mungkin karena komplikasi dari jantungnya atau mungkin efek samping dari obat-obatnya. Ah entahlah. Jantungnya ini sudah menimbulkan kerusakan di mana-mana selama ia berdetak di tubuh Ali.
Cowok itu terdiam di atas kasur empuknya. Memandang langit langit kamarnya yang terlihat polos. Rasanya badannya sangat lelah walaupun tidak melakukan apa-apa. Ali pingsan cukup lama, dari jam empat sore sampai jam 7 malam. Dan sepertinya sekarang tidak ada siapa siapa di rumahnya. Ayahnya adalah seorang pengacara yang cukup terkenal. Tak ayal kalau ia selalu sibuk. Sedangkan bundanya berprofesi sebagai bidan yang membuka klinik tersendiri. Sering pulang malam kalau banyak pasien.
"Li.." sapa seseorang ketika pintu kamar Ali terbuka.
Sebelah alis Ali naik. "Hmm?"
"Nih makan dulu. Gue beliin nasi goreng." Nino membuka sepincuk nasi goreng yang ia beli dan memindahkannya ke piring.
Ali mengubah posisinya menjadi bersandar ke kepala kasur. Kepalanya masih pusing, Ali nggak kuat untuk duduk sepenuhnya. Ia mengambil alih piring yang dipegang Nino. Setidaknya Ali masih bisa makan sendiri.
Gemas, Nino merebut sendok di tangan kiri Ali dan memindahkannya ke tangan kanan. Nino tahu Ali kidal, tapi kan nggak ada salahnya kalau belajar pakai tangan tangan.
"Pake tangan kanan, biar sopan."
"Lo keluar aja," kata Ali dingin. Bukan, bukan karena Ali masih marah pada Nino. Ali cuma takut waktu Nino terbuang lebih lama hanya karena mengurusinya.
"Emmh... yaudah gue keluar, lo jangan lupa minum obatnya ya. Ini air minumnya udah gue ambilin." Nino menunjuk nakas samping tempat tidur Ali yang hanya dibalas oleh anggukan singkat. Dari ambang pintu, cowok itu masih bisa melihat kalau Ali sedang melanjutkan makan nasi gorengnya. Yah, Ali mungkin masih marah. Tapi setidaknya, nasi gorengnya tidak ditolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Tears
ФанфикIni cuma cerita biasa, tentang dua orang remaja berbeda yang punya keunikan masing masing. Alanis Prillyta Askarani, gadis yang hampir obesitas dan kekurangan sel otak a.k.a bodoh kebangetan berpacaran dengan Alyasa Gallendra, si kidal yang manis da...