Kala itu, hujan sedang turun sangat deras saat bel pulang sekolah berbunyi. Gadis berkulit putih itu lantas memakai jaket berwarna biru kesayangannya. Prilly memilih menunggu hujan reda di pos satpam daripada menunggu di kelasnya. Setidaknya pak satpam lebih baik daripada teman-teman yang suka mengolok-oloknya.
Gadis itu mengusap usap kedua tangannya lalu ditempelkannya ke pipi. Dingin. Ditambah Prilly gak bisa otw pulang kalo hujan hujan begini. Gak ada Ali. Biasanya hujan aja diterobos kalo ada Ali. Beneran deh, rasanya hujan hujanan berdua itu romantisnya gak bisa dibayangin.
Sesaat pikiran Prilly langsung menjurus ke laki laki beralis tebal itu. Hari ini Ali gak masuk sekolah. Mungkin sedang melakukan check up. Prilly tahu betul jadwal Ali check up ke rumah sakit setiap hari hari kerja gini. Jadi Ali harus rela bolos demi ke rumah sakit.
Tak berapa lama kemudian seorang lelaki dengan jas hujan berwarna abu abu berhenti di hadapan Prilly dengan motornya. Prilly melirik sekilas cowok itu sambil cemberut. Ah Adit.
"Mau pulang, ndut?"
"Iya."
"Oh yaudah. Hati hati ya. Jangan lupa mandi biar badan lo gak makin bau. Bhayy!" Seketika itu juga Prilly langsung melempar botol bekas minumannya ke kepala Adit. Cowok itu melirik Prilly sekilas kemudian meloyor dengan motornya.
Akhirnya, Prilly menunggu sampai hujan reda. Rasanya sepi, Prilly berasa sendirian sekali walaupun banyak orang di sekitarnya. Kadang Prilly masih suka ngeluh, oh gini ya rasanya jauh dari pacar. Padahal Prilly sudah sering pulang sendiri. Tapi setiap gak ada Ali, rasanya beda aja. Seperti sudah setahun kehilangan.
Yah namanya juga anak remaja yang sedang berada di masa masa emasnya. Wajar kalo pacaran memang suka agak lebay.
Gadis berambut panjang itu menarik napas panjang sebelum kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan memesan taksi di aplikasi online. Sekali lagi ia melirik ke arah teman-temannya yang sedang memerhatikannya dengan tatapan....jijik. Jujur, Prilly kadang, malah terlampau sering sedih karena dikucilkan seperti ini. Pada faktanya, tidak ada yang mau berteman dengan siswa ber-IQ rendah seperti Prilly. Mereka membenci Prilly, padahal Prilly gak pernah melakukan kesalahan apapun kepada mereka.
Dunia terlalu menyakitkan untuk Prilly.
***
Gadis berhidung mancung itu membuka pintu rumahnya yang sepi. Iya sepi. Televisi berukuran besar di ruang tengah pun sekarang sudah sangat jarang dinyalakan. Sekarang sudah tidak ada lagi quality time bersama mama dan papanya. Semenjak mereka berpisah, Prilly lebih sering menyendiri di kamar. Sedangkan papanya selalu menyibukkan diri di kantor. Paling banter cuma ditemani Bi Idah, asisten rumah tangganya.
Setelah menyimpan tas sekolahnya, Prilly merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan mata tertutup. Ia menghirup udara dalam dalam untuk membuat tubuhnya sedikit rileks. Kalo lagi badmood gini prilly jadi suka laper. Detik selanjutnya, ia memutuskan untuk bergerak ke arah kulkas yang berada di lantai bawah dan mengambil beberapa camilan.
Buat Prilly, bodo amat mau gendut apa nggak. Toh ia gendut pun tetap ada yang suka. Cuma ya.. Kadang kadang Prilly suka jengkel kalo ada yang ngejek gendut.
Sambil mengunyah snack coklat yang ia taruh di atas kasur, gadis bermata coklat itu lantas meraih ponsel dari dalam tas sekolahnya. Ia mendial seseorang dari buku kontak ponselnya. Tak butuh waktu lama, suara seseorang dari sebrang sana langsung terdengar di telinga Prilly.
"Halo.. Siapa nih?" Prilly berdecak. Dari suaranya saja Prilly sudah tahu siapa yang mengangkat panggilan yang ia tujukan ke nomor Ali ini.
"Pacar Ali mas.."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Tears
FanficIni cuma cerita biasa, tentang dua orang remaja berbeda yang punya keunikan masing masing. Alanis Prillyta Askarani, gadis yang hampir obesitas dan kekurangan sel otak a.k.a bodoh kebangetan berpacaran dengan Alyasa Gallendra, si kidal yang manis da...