"Makasih pak," ucap Prilly sembari menutup pintu taksi yang mengantarnya. Gadis itu merapikan kerudungnya sebentar, sebelum kemudian masuk ke gedung besar bertuliskan rumah sakit itu.
Prilly berjalan terburu-buru menuju ruangan ICU. Tadi ia sudah terlebih dahulu bertanya pada Nino dimana Ali berada karena Prilly harus menunggu sampai bel pulang sekolah untuk bisa kesini.
Brukk!
"Akh!" Prilly meringis saat pantatnya bersentuhan dengan lantai secara kasar. Ia melirik orang yang menabraknya sekilas lalu membiarkannya pergi. Ia terdiam di sana, di antara orang-orang yang berlalu lalang tanpa rasa malu. Membiarkan dirinya ditatap dengan aneh oleh banyak orang.
"Prilly?" tanya seseorang. Prilly menoleh, kemudian menerima uluran tangan seseorang yang tak lain adalah Nino.
"Hey, kenapa? Lu nangis?"
Lelaki bertubuh jangkung itu sedikit membungkuk untuk melihat wajah Prilly yang sudah basah oleh air mata. Gadis itu sesenggukan, menangis penuh kepiluan. Dan, tangan Nino bergerak secara refleks mengusap jejak tangis gadis itu dengan lembut.
"Jangan nangis, Ali baik-baik aja."
Batin Nino terenyuh ketika tangisan Prilly menjadi-jadi. Spontan cowok itu menarik Prilly ke dalam dekapannya dan memeluknya erat, tanpa peduli banyak orang memerhatikannya. Nino tahu Prilly sangat terpukul, Nino tahu rasanya takut kehilangan setiap saat itu bagaimana. Nino tahu. Karena Nino kakak Ali, yang setiap hari setiap detik setiap saat berada di bawah atap yang sama dengan Ali. Nino juga merasakan itu semua.
Prilly menyusut air matanya lalu menjauhkan tubuhnya dari Nino. Ia menatap cowok itu lama dan hanya menurut saat Nino menuntunnya ke ruang ICU. Mulut Prilly susah berkata-kata. Rasanya baru tadi pagi ia melihat senyum bahagia Ali karena melihatnya berhijab, sekarang ia hanya bisa melihat Ali menutup matanya di ruangan mengerikan itu. Prilly tidak sanggup.
Prilly ingin semuanya baik-baik saja, mengalir tanpa rasa takut yang setiap detik menghantuinya.
Hening, hanya ada suara Prilly yang masih terisak sambil memandang Ali dari pintu ruang ICU yang transparan. Ia bisa melihat ada Meyra dan Bu Yulita di samping Ali. Bu Yulita. Prilly tahu Bu Yulita pasti sangat merasa bersalah. Bu Yulita jahat. Kalau bukan karena Bu Yulita, Ali nggak akan seperti ini.
"Prill?" tanya Nino ragu-ragu. Pasalnya Prilly tampak nyaman berada di balik kaca itu.
"Hmm?"
"Gue tahu lo pengen banget ketemu Ali. Tapi sorry, yang boleh masuk cuma keluarga."
"Bu Yuli?"
"Pengecualian. Kasian dia, tadi sampe nangis-nangis pas nganterin Ali. Terus minta maaf berkali-kali sama bunda."
"Oh."
"Gue bakal kasih tahu Ali kalo lo kesini."
"Iya makasih," balas Prilly datar tanpa menatap wajah Nino. Ia tidak bisa melepas pandangannya dari seseorang yang tergolek di bangsal rumah sakit itu, namun tangan Nino dengan sigap menariknya untuk duduk di kursi tunggu.
"Jangan nangis." Sekali lagi, Nino mengusap pipi Prilly yang basah.
"Lo bisa pastiin, kalo Ali bakalan bangun lagi?" tanya Prilly penuh harap.
"Gue bukan Tuhan." Keduanya mendesah lesu. Nino dapat melihat jelas wajah sedih Prilly. Ali selalu bilang, kalau selain Ali, Prilly nggak punya siapa siapa lagi untuk berbagi cerita. Prilly itu kesepian dan nggak punya banyak teman.
"Tapi Ali selalu bilang, kalo dia akan bangun lagi setiap kali dia tidur. Lo tenang," lanjut Nino sambil memegang pundak Prilly.
Beberapa detik Prilly hanya menatap mata Nino dengan mata berair sebelum kemudian ia kembali menghambur ke pelukan lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Tears
FanfictionIni cuma cerita biasa, tentang dua orang remaja berbeda yang punya keunikan masing masing. Alanis Prillyta Askarani, gadis yang hampir obesitas dan kekurangan sel otak a.k.a bodoh kebangetan berpacaran dengan Alyasa Gallendra, si kidal yang manis da...