"it was all my fault... it was all my fault," Luke tenggelam di pelukan gue menangis senggugukan. Kalimat tersebut seperti keluar setiap sepuluh detik dan tiap kali terdengar hati gue tersayat. Loe bisa rasakan dari getaran suaranya bahwa dia benar benar merasa bersalah. Gue sendiri gak ngerti kenapa dia merasa sebagai penyebabnya, tetapi gue gak akan menanyakan terlebih dahulu, gue tau keadaan.
Calum kembali setelah barusan ijin ke kamar mandi. Matanya yang merah dan sembab menggagalkan akting kuatnya. He've been crying in the bathroom.
Yang satu lagi duduk di sebelah kanan gue, menatap kosong ke arah lantai.
Ada juga Lauren yang mendekap Harry. Keduannya menangis di kiri Gendis.
"Cal," panggilan dari Fia dijawab ya olehnya. Satu kata itu keluar tak bersuara tapi kita bisa tau dia merespon. Fia menepuk-nepuk kursi kosong sebelahnya, mengisyaratkan cowo tersebut untuk duduk disitu dan Calum menurut.
Hening. Hanya suara isakan Luke yang sekarang menaruh kepalanya di paha gue. Selain gue khawatir dengan Ashton, gue khawatir dengan cowok berambut pirang terang ini. Dia gak pernah terlihat segininya dan gue punya perasaan bahwa dia akan kehabisan nafas kalau Luke gak mengatur itu kembali.
Gue merasa gak enak juga. Dengan tiga orang Australia ini terlihat sangat sedih sedangkan gue gak meneteskan air mata sama sekali, gue takut orang-orang menganggap gue gak peduli. Gak tau kenapa gue gak bisa ngeluarin emosi ini. Jika loe nanya apakah gue sedih? Fvck yeah.
Air mata gue menolak untuk turun dari tempatnya. Seperti sadar bahwa semua orang di grup ini menangis dan kalau gue ikut... sekumpulan ini benar-benar hancur.
Gue menyapu pandangan ke semua dinding yang bisa gue lihat, mencari jam karena gue yakin Hp gue tergeletak di apartemen. Pipi Michael yang berkilau menghentikan keinginan gue untuk tau pukul berapa sekarang. Dia menangis dalam lamunannya.
"Hey, Luke...Luke?" sadar si Pirang tak merespon, gue membungkuk untuk mendekati bibir gue ke telinganya. "Can you get up just for a second? I... i want to talk to Michael a little bit,"
Gue sedikit terkejut dengan tubuh Luke yang tiba-tiba bergerak menuruti omongan gue barusan. Ia langsung menekuk kakinya untuk mengistirahatkan kepala di lututnya.
Fokus gue sekarang ditujukan untuk Si Rambut Merah yang menangis tak berbunyi. Dia gak tau gue menghadapnya sampai badannya terkesiap saat gue memeluknya. Hati gue sakit ketika dia langsung menangis, yang benar-benar menangis. Isakannya begitu keras dan nafasnya jauh dari normal.
"I fucking yelled at him! I. FUCKING. YELLED. AT. HIM! WHAT IF HE DIE!? I AM A MURDERER!" Michael mulai teriak dan dengan keadaan kami di rumah sakit, gue langsung menenangkannya.
"shhh... shhh... it'll be okay... he'll be okay,"
"I yelled at his face, Naura. I yelled at him," gue mengusap punggungnya, berusaha untuk mengatur nafasnya melalui tangan gue.
Seorang pria yang gue yakin adalah dokter yang menangani Ashton keluar dari ruangan. Ada keinginan untuk mendengar kabar tentangnya tetapi gue membiarkan Gendis, Fia, dan Calum yang menyalurkannya nanti. Gue dan Michael tetap di tempat, begitu juga Luke, Harry, dan Lauren. Luke hanya mengangkat kepala ke arah mereka.
Gendis kembali menatap kami, diikuti kedua lainnya. Gue sayangnya gak bisa membaca ekspresi mereka, jadi gue cuman menunggu mereka berbicara.
"siapa yang disini memiliki darah O?"
•
Ashton kehilangan banyak darah, dan stok darah O di rumah sakit ini gak cukup untuk menambalnya. Lauren dan Harry menuruni darah ibunya, alhasil berbeda dengan kakak tirinya. Untung saja Luke memiliki golongan darah yang cocok, menjadikan dia sebagai donasinya. Sekarang tinggal kami menanti apapun yang di lakukan dokter di dalam sana selesai.
"Hey, Michael!" yang dipanggil menengok. Tatapannya masih sedih tapi gue tau dia sudah sedikit lega. "beli minum mau ga? Buat yang lain juga,"
Dia mengangguk. Kami yang langsung berdiri langsung dilihat oleh lainnya. Gue memberi tau mereka kemana kami akan pergi. Biasanya berbagai merek minuman langsung keluar dari mulut teman-teman gue itu, dalam keadaan ini, mereka hanya mengiyakan.
Kami berdua berjalan menuju kantin rumah sakit. Melewati taman dengan bunga-bunga cerah yang dibangun supaya orang-orang melupakan kesedihan yang terjadi disini. Wajah-wajah khawatir dari keluarga yang menunggu di luar ruangan menatap kami yang baru melangkah di dekat mereka.
Kantin disini juga suram. Gak mengundang para pengunjung untuk membeli makanan dan minuman yang ada.
"beli apa aja ya, Mike?"
Dia gak menjawab beberapa saat. Mengambil udara kuat-kuat, menghilangkan apapun yang menghambat nafasnya. "Air mineral aja,"
Gue langsung merasa bego setelah sadar kalau gua gak perlu menanyakan pertanyaan barusan. Tentunya kami hanya perlu air mineral untuk membersihkan pikiran kami. Tangan gue langsung sigap membuka kulkas yang ada lalu mengambil sekitar lima botol.
Kami berjalan kembali ke ruang tunggu setelah membayar. Michael masih menunduk selama berjalan, tak ingin menatap ke depan.
•
Apapun yang tadi dilakukan oleh dokter telah selesai. Kami dibolehkan untuk bertemu Ashton. Dengan jumlah kami yang lumayan banyak, kami masuk bergiliran.
Harry, Lauren, Fia, dan Calum, tak terasa udah keluar dari ruangannya. Giliran gue, Michael, Luke, dan Gendis untuk melihat keadaan si mata hazel, dan gue gugup. Gue tau dia di dalam keadaan yang tidak sadar tetapi gue tetap akan bertemu dengannya.
Kaki gue menginjak lantai ruangannya, gue membeku. Badannya menggunakan baju pasien. Bisa gue liat, hampir sepanjang tangannya dibalut perban. It just, not what i want to see.
"Hey, bro," Calum memegang tangan sahabatnya yang bernafas dengan bantuan masker oksigen itu. Cowok keturunan New Zealand ini mencoba terlihat kuat di depan Ashton walau kami tahu dia masih gak sadarkan diri.
"I just wanna say that, i know that you are strong, you are too strong to go right now, and... yeah," gue tersenyum mendengar ucapan Calum. Benar, dia terlalu kuat untuk pergi.
Sekitar 30 menit berlalu, kami keluar karena seorang perawat yang ingin menyelesaikan beberapa hal lagi dengannya. Dan di saat itu juga, emosi gue menghantam seperti batu bata.
Gue nangis benar-benar keras karena entah berapa lama gue menahannya. Luke yang berjalan tepat di samping gue langsung menarik gue ke dekapannya. Siapapun yang di depan pun menengok untuk memberikan gue pelukan juga.
Sometimes we need to cry, is the best if there is someone to hold.
Wah gua update
Wah SMA susah ya
Wah gua remidi banyak wah
Published-28/08/17
~Istri ashton yang sedang berusaha ulangan

YOU ARE READING
Red and Promises [a.f.i]
Fanfic[Hazel and Problems's sequel] All i can see is red, And his promises that flew away. Kisah gue di Australia ini berawal buruk. Dia berubah. Gue masih bisa melihat hazel di matanya tapi sakit untuk menatapnya. Sesuatu telah menutupi sinar di mata ind...