"Calum, loe temenin Lauren aja ya?"
Cowok dengan rambut hitam dengan sedikit blonde di ujungnya memberikan wajah bingung dengan apa yang gue ucapkan.
"Why me? Gue bukan keluarga inti. Ada Harry, kan?"
"Dude, he is like seven. Masa kita nyerahin bocah buat ngomong sama dokter?"
Dia pun menyerah dan bilang ok. Tubuhnya menghampiri Lauren yang udah berdiri di ambang pintu ruang dokter.
Tadi dokter sempat bilang ada sesuatu yang harus dibicarakan. Katanya, harus keluarga inti tapi dengan ketidakadaan bapaknya, Lauren lah yang akan mendengarkan berita tentang kakaknya, yang entah baik atau buruk.
Gue bangun dari kursi, ijin untuk ke kamar mandi dan meninggalkan teman-teman di ruang tunggu.
Otak gue masih penuh dengan kekhawatiran mengenai cowok dirty blonde itu. Padahal, sudah jelas bahwa dia enggak di keadaan kritis lagi. Ashton hanya butuh waktu untuk penyembuhan tubuhnya.
Berpikir air bisa menghapus setiap beban yang ada, gue membasuh muka gue di westafel. Badan gue berhenti di pemantulan yang ada di cermin. Mata yang sembab gara-gara tangisan yang akhirnya keluar barusan. Rambut yang ke arah mana aja dengan alasan memang gue gak memikirkannya daritadi.
I look like a freaking wreck
Gue mencoba merapikan benda hitam pekat yang ada di kepala gue itu. Dan yak, gagal. Akhirnya gue memutuskan kembali, bersama-sama menunggu Calum dan Lauren.
Saat gue sampai di sana, dua orang itu telah dikelilingi yang lain. Lebih-lebih lagi dari posisi gue, terlihat Lauren menunduk sedih di sana. Gue berlari menemui merka sebelum ketinggalan berita.
"Ada apa?"
Bukannya menambah balasan, semuanya malah menyuruh gue diam bertanda kalau Calum dan Lauren belum memberitahu apa yang terjadi.
"The good news is, he's not gonna be long in the hospital, just couple days and he's gonna out of this place- but-"
"But?"
"Don't cut me off!"
Gue meringis mendengar intonasi bicara Calum terhadap adik tiri Ashton yang sekarang bergetar ketakutan, mengeratkan pegangannya ke tangan Gendis. Tangisnya langsung pecah tak kuat dengan Calum yang barusan membentaknya.
"Harry-"
"Udah Cal, loe ngomong aja beritanya, nanti kasih tau ke gua. Gue yang ngurus Harry bentar,"
Calum mengambil napas dalam dan mengangguk. Gendis pun membawa bocah menangis itu menjauh sebentar. Gue mendengar kata "ice cream' diucapkan oleh sahabat gue itu dan selanjutnya gua gak mendengar tangisan Harry lagi.
"So?"
Lauren terlihat seperti akan mengambil obrolan, "T-The doctor suggest us to bring Ashton to m-mental hospital or psychology. I don't think i'll trust a stranger call psychology for him. And mental hospital? Believe me, me and Ha-Harry need him so much more than you guys think. It looks like i'm so selfish but- i just can't"
Gue yang ada di posisi tepat di sebelah Lauren, langsung memeluknya saat dia mulai terisak.
"He needs to get better," ucap gue pelan, mengambil sisi pro dari sugesti sang dokter itu.
"But there is you, Nau," Kepala gue otomatis mendongak ke sumber suara yaitu Michael. "He is so happay when there is you, not all the whores that he found in the club,"
YOU ARE READING
Red and Promises [a.f.i]
Fiksi Penggemar[Hazel and Problems's sequel] All i can see is red, And his promises that flew away. Kisah gue di Australia ini berawal buruk. Dia berubah. Gue masih bisa melihat hazel di matanya tapi sakit untuk menatapnya. Sesuatu telah menutupi sinar di mata ind...