LA Until Tomorrow

52 11 7
                                    

LA Until Tomorrow

Hiruk-pikuk kota Los Angeles terlihat jelas di balik jendela-jendela besar gedung-gedung pemukiman apartemen lokal. Mulai dari cafe, restauran, pub, hingga club telah menyalakan lampu-lampu kecil mereka, mengundang siapa pun untuk berkunjung. Udara California hari itu cukup cerah, dengan sedikit tertutupi awan, membuat suhu hangat yang biasa dipancarkannya sedikit turun untuk meneduhkan turis-turis yang mampir ke kota mereka.

Raewon menjerit kecil ketika dirinya hampir bertabrakan dengan seorang pria yang keluar dari club. "Be careful,  sweetheart"," ujar sang pria, memberikan Raewon sebuah seringaian nakal sembari pria itu menstabilkan tubuh Raewon lewat lengan gadis itu, tangan pria itu bergerak 'terlalu rendah' menurut Raewon dan itu membuatnya sebal.

Raewon dengan cepat menjauhi pria tadi dan sedikit berlari memutari tubuh besar pria itu menuju bar dimana sahabatnya yang berambut pirang menertawainya. Raewon mengerutkan keningnya, "Aku senang ketidak-nyamananku menjadi pemicu kebahagiaanmu, Kim Yunji."

Yunji menggelengkan kepala, telapak tangannya berada di depan bibirnya untuk menghentikan tawa kecil yang masih ia keluarkan. "Ku akui itu sedikit menghibur," ujar Yunji. Ia lalu berdeham sembari menyerahkan sebuah apron pada Raewon. "Kau terlambat."

"Aku tahu," jawab Raewon sambil ia mengalungkan apron tersebut di lehernya dan mengikatkan kaitannya di belakang pinggangnya. "Kelasku baru selesai beberapa menit yang lalu dan aku harus berbicara pada profesorku dahulu sebelum aku kesini."

"Aku mengerti kau mengambil serius tentang pendidikanmu, Rae, tapi kau harus jalani hidupmu dengan nyaman, berpestalah, atau paling tidak carilah kekasih untuk mengurangi sifat nerd yang ada pada dirimu," ujar Yunji. Ia mengeluarkan ponselnya untuk mencari sesuatu di internet. "Kau sudah jadi mahasiswi peringkat teratas di departemenmu, apa itu belum cukup?" jelas Yunji pada Raewon yang kini mulai melayani tamu yang datang ke bagian barnya.

Raewon mengerucutkan bibirnya begitu selesai menyajikan minuman dan menjawab, "Tidak ada yang salah dengan tetap tinggal di kelas setelah jam usai. Itulah bagaimana aku mempertahankan nilai-nilaiku."

Yunji hanya menggelengkan kepalanya, "Aku tahu bahwa tidak ada yang salah dengan itu, Raewon–ah. Aku berhenti sekolah selagi aku dapat kesempatan, dan aku mengagumimu yang tetap maju untuk menempuh pendidikan, tetapi bersenang-senang tak akan menyakitimu, kau tahu."

Raewon menatap lurus sahabatnya, "Bersenang-senang seperti apa yang kau maksud?"

Yunji berdecak mendengar betapa polos sahabatnya itu, "Bersenang seperti anak muda di umur 22 sepertimu, berkencan dengan berbagai macam pria, berkaraoke bersama sahabatmu, atau bahkan hanya keliling mal tanpa membeli pun juga bisa jadi hiburan, kau tahu," jelas Yunji.

Raewon belum sempat menjawab bahwa ia 'tidak tahu' saat sahabat pirangnya itu menggenggam lengannya terlalu erat dan menjerit di telinganya. "Yunji!" sergah Raewon sambal mengusap pelipisnya, "Kenapa kau berteriak, huh? Wae?"

Yunji kembali menggenggam lengan Raewon namun kali ini ia memutar sahabatnya ke arah pintu utama. "Lihat siapa yang baru saja masuk di pintu utama," bisik Yunji yang agak kencang di telinga Raewon.

Tujuh pria tampan baru saja melewati pintu. Masker hitam atau putih menggantung di telinga mereka, sdengan sebagian besar hanya menggantung tanpa menutupi wajah mereka. Pakaian kasual namun trendi menjadi style ketujuh pria tersebut. Satu pria berhasil menangkap perhatian Raewon lebih, ia bertubuh tinggi, mengenakan kaos stripe dan jaket light denim dengan wajah sebagian tertutupi topi merah mudanya. Ketujuh pria tersebut tampaknya mencoba untuk tidak mencolok atau menarik perhatian, namun dengan penampilan boyfriend style itu sudah lebih dari setengah pengunjung club sekaligus restauran itu menoleh dan mulai menerka-nerka siapa mereka. Coba dipikir, bukankah itu—

OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang