Aku berlari dengan cepat menyusul Bara, berharap ia belum bertemu Ka Raven.
Namun sayangnya, lari ku berujung sia-sia. Bara sudah duduk bersebelahan dengan Ka Raven, berbincang ringan dengan Papah. Sial.
Keduanya tersenyum ke arahku, tapi mereka memiliki arti senyum yang berbeda, sepertinya.
Senyuman getir terpampang di wajah Ka Raven, sedangkan senyum paksaan mengembang di bibir Bara. Lalu, aku harus bagaimana?
"Ngh, Pah, aku mau ikut Bara ke Bandung ya?" ucapku hati-hati. Papa mengangkat kedua alisnya refleks. Sedetik kemudian keningnya mengerut.
Aku cepat menjawab, "Refreshing, Pah. Swear, deh!" seraya menunjukan arti damai menggunakan jariku. Peace.
Papah tertawa ringan, "Kamu pede sekali, memangnya Bara mau bawa kamu?" mata Papah beralih pandang pada Bara yang sekarang sedang melongo. Percayalah, wajahnya saat ini begitu menggemaskan hahaha.
Aku melotot, sambil sedikit mengancam lewat gumaman yang mungkin sama sekali tidar terdengar, hanya sebagai formalitas agar terkesan benar-benar 'mengancam'.
"Oh.. em.. I–ya om, mau," Bara gelagapan.
"Ya sudah, kamu pakai apa ke Bandung? Pakai mobil om saja, ya?"
"Eh nggak usah om, makasih. Bara pake motor, kok."
Papah mengedikkan dagunya, mengarah padaku, "Kasian Nuel, Bar. Nanti dia kedinginan."
Aku hanya tersenyum menang pada Bara. Yang ditanggapi dengan delikan dari Bara.
"Iya, Om,"
"Kalo gitu, saya pamit pulang dulu Om," Ka Raven beranjak sambil berpamitan. Aku? Aku hanya diam mematung menggigit bibir bawahku.
Maaf Ka Raven,Maaf....
Ka Raven melihat ke arahku dengan senyum pahit, "El, kaka pamit ya."
"Oh, i–iya kak," Aku berjalan menghampirinya, mengantarkannya hingga mobil.
Ka Raven diam sebentar sebelum masuk ke dalam mobil,
"Bara.. Siapa kamu?"Pertanyaannya berhasil membuatku meneguk ludah kasar.
"Dia.. Dia cuma temen, anaknya temen Papah, Ka,"Perasaan ini aneh. Kenapa aku merasa bersalah pada Ka Raven? Dan juga, kenapa ada rasa kecewa ketika aku sebutkan bahwa Bara hanya, 'teman'?
"Temen?" Ka Raven tersenyum miring, "Jaman sekarang temenan bisa satu rumah, ya?"
"Bukan gitu Ka—"
"Have fun ya, hati-hati... jaga hati kamu, Kaka pulang," setelah berucap kata yang sebenarnya tak begitu aku pahami, Ka Raven pergi.
'Hati-hati, jaga hati?'
Aku menarik napas dan menghembuskannya diiringi decakan."Dia cemburu, tuh," suara laki-laki itu menyapu gendang telingaku dengan nada yang datar.
Aku menoleh. Dan detik itu juga dia melemparkan ransel ke arahku. Berhasil membuatku mengerjap kaget.
Bara membuka pintu mobil, sedangkan aku masih melihatnya dan mencebik sebal.
"Sana pamit dulu, cepetan."
"Ck, nyebelin!" ucapku melenggang pergi.
※※※
Mataku menghamburkan pandang ke jalanan yang kini diwarnai dengan banyak pepohonan. Ternyata Bara mengambil jalan ke Bandung lewat puncak. Yang sudah dipastikan macet ketika weekend seperti ini.
YOU ARE READING
WHO IS MINE? He or Him?
Teen FictionTerjebak di dua hati emang sulit, Ketika kamu sedang mencintai seseorang dalam diam. Ada seseorang yang mencintaimu dengan blak-blakan. Kadang Cinta itu aneh. But, it makes love more beautiful. NUELSIA AFREEN DAMARA. Gadis yang tak pernah menya...