BANDUNG

24 3 0
                                    

Pelajaran terakhir telah usai. Membuat seluruh murid berbondong-bondong pulang. Aku berjalan lunglai ke ambang pintu kelas. Hari ini begitu melelahkan. Aku sadar sebenarnya teman-temanku memperhatikan sedari pagi. Tapi mereka tak berniat menggubris singa yang lagi badmood, sepertinya.

Tesa menyamai langkahku, ia mengulum bibirnya ragu,
"Mm, El? Are you ok?"
Aku tersenyum tipis, "Ok."

"Gue balik duluan ya, bye!" pamitku pada teman-teman, melambaikan tangan, lalu berlalu memunggungi mereka.
Mereka mengangguk, memberi senyum dan membalas lambaian tanganku.

Tanpa aku sadari, seseorang mengekoriku. Mengikuti langkah beratku menuju gerbang sekolah. Tepat di tangga terakhir menuju jalan ke gerbang, ia menghadangku. Menyodorkan sebatang cokelat almond favoritku.

"Kakak anter pulang ya?"

Ka Raven.

Aku sedikit kaget, tapi aku merasa senang juga.

"Nggak usah." aku melangkah pergi, namun tanganku telah terkunci di genggaman Ka Raven.

"Please, El."

Dengan tatapan malas, aku tak menjawab. Entah kenapa rasanya aku ingin Ka Raven untuk memaksa. Seperti harapan agar di perjuangkan oleh laki-laki yang aku puja, dari dulu.

Dan, Tring!
Anganku bukan lagi bayangan,
Ka Raven menarik ku ke arah parkiran. Membawaku ke mobilnya. Ia membukakan pintu untukku. Membuatku bak Putri dari kerajaan Inggris.
Setelahnya ia melempar senyum padaku, menunjukkan lesung pipinya yang tak terlalu dalam. Ah, sungguh. Ka Raven si senyum seribu volt.

Di perjalanan aku tak berucap sedikitpun. Ku katupkan mulutku dengan rapat. Kekanak-kanakan memang. Tapi bagaimana lagi? Aku hanya menahan ocehan marah tak pentingku.

"El.." Ka Raven memecah hening.

Aku hanya menoleh ke arahnya.

"Nih, cokelatnya." ia menyodorkan cokelat yang sedari tadi ia genggam.

"Nggak mau, diet." aku memalingkan wajah ke arah kaca samping.

Parahnya, Ka Raven malah tertawa.

"Hahaha, kamu lucu deh kalo lagi marah."

Aduh, aku yakin, pipiku sudah merona merah.

"Lagian siapa yang marah. Nggak."
Aku benar-benar tak sanggup melihat Ka Raven.

"Em, gitu ya. Jadi Sekarang kita udah baikan?"

"Emang kemarin-kemarin kita berantem?" kali ini aku memberanikan diri menatapnya.

Ka Raven menaikkan kedua halis tebalnya,
"Ngh.. Mungkin." ia mengedikkan bahu.

"Berantem kayak pacaran aja, haha."

Bodoh. Dasar El bodoh. Kenapa tiba-tiba bilang kata 'pacaran', sih?

Aku membuang pandang, mengalihkan muka merahku ke arah kaca samping lagi. Menepuk jidat sambil merutuki diri sendiri.

"Haha, tunggu waktunya aja, ya!" Ka Raven mengacak rambutku pelan, "Ishh, gemess." lalu mencubit pipiku. Ah rasanya aku nggak mau cuci muka selamanya.

"Itu tuh, lampu ijonya nyala." aku menunjuk jalanan yang sekarang telah ramai kembali. Sambil berusaha mengalihkan pembicaraan. Ka Raven hanya terkekeh melihat tingkahku.

Ku palingkan kembali wajahku ke arah kiri,  memandangi suasana sore hari Jakarta yang ramai di balik kaca mobil. Bergelayut dengan fikiran yang entah darimana asalnya. Khayalan bodoh tentang aku dan Ka Raven.

WHO IS MINE? He or Him?Where stories live. Discover now