Aromanya amis. Melisma tidak butuh waktu lama mengenali benda yang menghujam kepalanya. Hanya saja saking terkejutnya dia karena ini adalah kali pertama seseorang berani memperlakukannya secara luar biasa kurang ajar, dia merasa butuh kepastian kalau perbuatan pelakunya sama sekali bukan bermaksud sebagai candaan. Tangan kanannya kemudian terangkat menyentuh ujung kepalanya dan dia merasakan tekstur benda cair yang begitu kental.
Hampir semua anak yang melihat kejadian itu tertawa termasuk Haven. Berkat hal itu, emosinya perlahan-lahan mendidih. Melisma bahkan lupa pada perannya hari ini sebagai Amarta.
Masih dengan wajah syok, Melisma kemudian membalikkan badan lalu melangkah pergi, meninggalkan anak-anak sialan tadi yang masih sibuk dengan tawa mereka.
Haven tadinya mengira gadis itu akan mengunci diri di dalam kamar mandi untuk sesenggukan sambil membersihkan telur di rambut dan bajunya, namun dugaannya meleset. Senyum Haven menghilang saat melihat Melisma ternyata berjalan tanpa ragu menaiki tangga ke lantai dua. Perkiraan Haven selanjutnya hanya satu: gadis itu akan mendatangi anak yang telah melemparnya dengan telur.
Sesampainya Melisma di lantai dua, dia mendapati ada lima orang anak yang sedang tertawa geli. Awalnya mereka tidak menyadari kehadiran Melisma. Begitu jaraknya dekat, mereka baru menoleh tanpa menyembunyikan kesan mengejek. Saat itu sklera mata Melisma memerah. Mereka jelas tahu kalau gadis itu marah, namun mengingat setahu mereka orang yang saat ini berdiri mematung bermandikan telur itu adalah Amarta, mereka sama sekali tidak merasa terancam.
“Siapa yang tadi melemparku dengan telur?” tanya Melisma.
Pertanyaan itu langsung direspon, tapi berupa gelak tawa heboh. Salah satu dari mereka—seorang gadis yang kira-kira sedikit lebih tinggi dari Melisma kemudian berjalan mendekat. Wajahnya menyebalkan.
“Maaf ya,” ucapnya geli. “Telur itu sebenarnya untuk praktek biologi nanti, tapi malah nggak sengaja jatuh.”
“Kau ya?” Melisma mendelik ke arahnya tajam.
“Tuli ya? Aku kan sudah minta ma— AAAAA!!!!”
Gadis itu sontak menjerit karena tiba-tiba Melisma menjambak rambutnya keras. Kroni-kroni gadis itu langsung mencoba melepaskannya, termasuk dua orang laki-laki yang punya perawakan kasar. Tapi sebelum mereka bisa menyentuh Melisma, tubuh dua orang itu bergantian terlempar hingga membentur dinding hanya dengan sekali bantingan. Padahal tangan kirinya masih tetap menjambak gadis menyebalkan tadi.
“Aku ulangi tanyaku baik-baik…,” kata Melisma berbisik dekat telinganya. “Siapa yang melemparku dengan telur?”
Tepat saat gadis itu akan menjawab di tengah kesakitannya, sebatang besi tiba-tiba terlentang di depan Melisma, persis dekat lehernya. Baik Melisma maupun anak-anak lain yang melihatnya langsung membelalak.
Besi hitam dengan setitik tanda di tengahnya, Melisma hafal betul siapa pemiliknya.
“Main-mainnya sudah ya. Yuk masuk ke kelas!” ajak Viola dengan nada ramah yang dibuat-buat.
“Singkirkan ini!” bentak Melisma.
“Lepasin dia dulu, atau kuseret kau sambil bergantung di tongkat ini.”
Posisi mereka aneh. Anak-anak di sana bengong melihatnya. Melisma masih mengunci rambut gadis yang dia sangka melempar telur padanya sedangkan dia sendiri terkunci dengan sebatang besi kembarannya yang menyerang dari belakang.
Viola tahu itu memalukan. Namun setidaknya itu lebih baik dibanding menyerang Melisma terang-terangan dari depan. Toh Viola juga datang dari arah belakang gadis itu dan dia harus cepat bertindak. Dia menyadari rambut dan sebagian baju Melisma kotor akibat telur, tapi tetap saja kalau gadis itu gegabah dalam mengontrol emosinya, reputasi Amarta akan tercemar. Satu hal lagi: sekali pun, Viola tidak akan pernah menyerang terang-terangan salah satu kembarannya itu, apalagi di saat dia berada dalam tingkat Dan 2 judo baru-baru ini. Terlihat jelas dari caranya memperlakukan dua orang tadi bagaikan melempar bantal.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins: Out of Story
Teen FictionThis works only contain out-of-story of my charas in the main story. Don't read if you didn't read main story. Apa jadinya kalau si Kembar berkumpul? . . . . . Kekacauan