Fellon menatap wajah pucat itu terlelap di atas ranjang. Satu tangannya berada di bawah selimut, sementara tangan yang lain terhubung dengan selang infus. Sejak gadis itu meneguk teh dengan sari nanas, sudah lima jam waktu yang terlewat. Untunglah pertolongan yang dia terima tidak terlambat. Fellon bahkan masih ingat jelas bagaimana panik dan marahnya dia ketika di rumah tadi.Kamar rawat gadis itu amat privat dan dikhususkan. Ruangannya sama sekali tidak terlihat seperti bagian dalam rumah sakit. Fellon juga tahu kalau ada tiga dokter sekaligus yang akan selalu memantau perkembangan tubuh sang Manekin. Mereka akan bergantian datang ke sana untuk mengecek. Wajah masing-masing terpasang tanpa ekspresi, seperti mengatakan pada tiap orang: tidak ada seorang pun yang terbaring dalam kamar itu, kalaupun ada, mereka bersikap seolah tidak mengenalnya. Persisnya, mereka dilatih untuk berpura-pura tidak tahu apa pun.
Hal yang makin membuat Fellon muak adalah karena mereka juga menghindari kontak mata, meskipun laki-laki itu jelas-jelas ada di sana: berdiri frustasi dengan tangan menyilang.
Terakhir kali, seorang suster masuk ke sana dan menaruh sebuah vas besar dengan tiga puluh kuntum mawar hijau ke atas meja.
Ponsel Fellon berbunyi, pertanda panggilan masuk. Laki-laki itu bergerak menjauh dari ranjang Ratimeria dan menghampiri jendela. Saat memandang keluar, dia menempelkan ponsel itu ke telinga kiri.
"Ya?" Fellon menanggapi si Penelepon. Alisnya bertaut ketika mendengar. "That is a problem..," gumamnya sambil menekan ujung kuku ibu jari ke telunjuk. "Apa aku harus turun tangan sendiri untuk membereskan masalah yang kalian perbuat? Jangan ganggu aku sekarang. Oh, jangan lupa ajak Clarky jalan-jalan."
Fellon menekan tombol pemutus panggilan. Tubuhnya berbalik, kembali ke kursi tempat duduknya yang menghadap ke tempat tidur. Raut Fellon tampak keruh dan gerak mata serta bibirnya sangat tidak tenang. Memutuskan, laki-laki itu kemudian beranjak pergi.
Saat itulah, mata Ratimeria membuka—menerawang kosong ke langit-langit.
***
Fellon kembali kurang lebih satu jam kemudian. Laki-laki itu mampir ke kantin rumah sakit membeli minuman ringan, baru setelahnya pergi menuju kamar Ratimeria.
Apa gadis itu sudah bangun atau masih tertidur? Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena kondisinya sudah stabil. Fellon bertekad akan menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan apabila dia telah membuka matanya.
Namun Fellon langsung mematung di ambang pintu tatkala mendapati kamar itu kosong.
Di mana dia?
Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Fellon. Sontak dia pun berlari menyusuri lorong yang sepi. Hanya ada beberapa perawat yang terlihat. Mereka pun menatap bingung pada laki-laki itu.
"Sir, tidak boleh berlari di dalam rumah sakit!" seru salah seorang perawat menegur.
Fellon tidak mempedulikannya. Dia terus berlari sampai keringatnya bercucuran keluar. Saat ini dirinya tengah berada di lantai tiga. Memangnya apa yang diharapkannya dengan berlari-lari tanpa tujuan yang jelas. Gadis itu bisa berada di mana saja. Dia bahkan mungkin telah pergi jauh tanpa mengatakan apa-apa pada Fellon.
Terengah-engah, laki-laki itu mendesah kesal. Dia lantas melihat keluar, melalui dinding kaca dekatnya sekarang. Raut wajahnya berubah begitu menyadari ada sesosok gadis yang tengah berdiri mematung di tengah-tengah taman. Fellon pun berdecap kemudian melanjutkan lagi berlari.
Fellon berhenti tepat di belakang gadis itu sambil membungkuk memegangi lutut—mencoba mengatur napas.
"Apa yang kau lakukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins: Out of Story
Teen FictionThis works only contain out-of-story of my charas in the main story. Don't read if you didn't read main story. Apa jadinya kalau si Kembar berkumpul? . . . . . Kekacauan