Segera setelah mobil merah muda itu masuk ke halaman parkir sebuah gedung pusat olahraga, sepasang boots hitam berhak tinggi langsung menjulur dari dalam kursi penumpang. Keadaan di sekitar cukup lengang sehingga gadis itu tidak mengundang banyak perhatian seperti yang biasa dia alami. Sekujur tubuhnya berbalut warna hitam: jeans hitam, cape dengan tudung hitam, juga tidak lupa sepasang matanya tertutup kacamata hitam. Rambut cokelat ikalnya tersembunyi sempurna di balik tudung.
Gladys harus akui, meskipun dengan emosi yang meledak-ledak, artis remaja yang selalu dia buntuti ke mana-mana itu selalu mempersiapkan baik-baik hal-hal yang jadi perhatiannya—walaupun lebih sering mengarah pada sesuatu yang sebenarnya lumayan... anarkis.
Seperti misalnya apa yang hendak dia lakukan dengan tongkat bisbol yang tengah gadis itu pegang.
Kepalanya menoleh ke segala arah, mencari mobil milik seseorang yang telah membuat gadis itu murka. Tidak butuh waktu lama. Mobil itu diparkir tidak jauh dari mobilnya kini. Kemudian tanpa pikir panjang dia mendatanginya.
Pandangan Gladys yang tadinya tidak pernah lepas memperhatikan tingkah gadis itu pun akhirnya memalingkan muka lalu mendesis—benar-benar tidak sampai hati melihat langsung perbuatannya kali ini.
Sang Gadis bertudung mengangkat tongkat bisbolnya tinggi-tinggi lalu mengayunkannya keras tepat di kaca depan mobil orang yang membuatnya marah. Tidak cukup sekali, dia memukulkan tongkat itu berkali-kali hingga nyaris semua bagian kaca depannya hancur total. Belum puas, mesin depanpun juga jadi sasarannya. Beberapa orang yang awalnya berjalan berlalu-lalang membelalak syok melihat perbuatan gadis itu tapi tidak ada yang cukup berani menghentikannya.
Barulah dalam hitungan menit kemudian, setelah merasakan emosinya terlampiaskan seluruhnya, gadis itu berhenti. Rongga dadanya naik turun karena sebagian energinya cukup terkuras mengingat dia mengerahkan seluruh kekuatannya hari itu hanya untuk menghancurkan sebuah mobil.
Gladys yang ingin membenamkan kepalanya dalam-dalam ke stir pelan-pelan menoleh ke arah artis yang diasuhnya.
Chrysantee—begitu Gladys memanggilnya—bukan gadis yang jahat. Hanya saja ketika dia marah, orang yang terkena amuknya akan hancur sehancur-hancurnya. Untuk kasus kali ini, Gladys cukup punya andil. Dia memperkenalkan Chrysantee pada seorang produser yang mesum—Gladys bersumpah, dia tidak tahu menahu soal itu awalnya. Produser itu minta supaya Chrysantee memperlakukannya dengan "baik", namun ujung-ujungnya tentu saja berbeda jauh dengan apa yang Gladys anggap mulanya.
Dia—Chrysantee memang bukan artis besar. Suaranya ketika menyanyi, juga akting gadis itu lumayan bagus. Namun dia ingin orang-orang mengenalnya karena usaha yang dia lakukan, bukan dengan pengaruh yang dia miliki. Karenanya dia memulai segala sesuatunya mulai dari level terendah. Makanya mereka sering menawarkan diri ke beberapa agen. Tentunya ini bukan untuk yang pertama kalinya terjadi.
Dua setengah tahun Chrysantee memulai semuanya, dia pun mendapatkan kepopuleran yang sudah lama diidam-idamkan. Meski begitu, gadis itu tidak mau terlalu cepat puas.
Gladys telah terbiasa menghadapi tingkah Chrysantee yang blak-blakan. Namun entah kenapa dia tidak pernah bisa menebak apa yang kemudian dilakukan gadis itu. Sama seperti kali ini. Padahal setahunya saudaranya yang lain tidak ada yang senekat itu walaupun harus Gladys akui—mereka semuanya aneh. Well, memangnya orang mana yang akan menganggap biasa kembar berjumlah lima?
Sekarang dilihatnya Chrysantee membalikkan badan lalu melangkah kembali ke mobilnya. Gladys menghela napas panjang ketika gadis itu membuka pintu belakang dan masuk setelah lebih dulu melemparkan tongkat bisbol yang dia bawa ke dalam. Dia menyibakkan tudung lalu melepaskan kacamata kemudian berbaring miring dengan muka cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins: Out of Story
Teen FictionThis works only contain out-of-story of my charas in the main story. Don't read if you didn't read main story. Apa jadinya kalau si Kembar berkumpul? . . . . . Kekacauan