A Bowl of Milk Pudding

849 94 23
                                    

Sebuah mobil Audi hitam berhenti tepat di depan stasiun kemudian dari pintu pengendara, seorang pria berlari kecil membuka bagasi mengeluarkan sebuah koper kecil berwarna kuning. Beberapa saat keluarlah seorang gadis ber-coat kuning dengan sepasang wedges tinggi yang langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling mendapati banyak orang berlalu lalang sibuk. Pria tadi menghampirinya menyerahkan koper gadis itu lalu menunduk sekilas. Setelah mengatakan sesuatu, gadis itu pun melangkah masuk stasiun tanpa menoleh kembali.

Melewati akses masuk dan setibanya di dalam, pandangannya berkeliling lagi namun dia tidak menemukan orang yang dicari. Menghela napas, gadis itu menyeret kopernya menuju ke tempat duduk yang kosong. Saat melihat jam tangan kecilnya, dia maklum karena telah datang dua belas menit lebih awal dari yang dijanjikan.

Seorang pria beraroma rokok yang menyengat berjalan lewat di depannya lalu duduk tidak jauh dari gadis itu. Dia menyembunyikan kedua tangannya pada saku jaket. Diam-diam dia pun melirik ke samping memperhatikan gadis tadi yang sekarang tampak sedang melamun karena matanya menyorot lurus ke depan tanpa beralih ke arah lain.

Coat kuning gadis itu terlihat begitu mencolok karena kuning bersih tanpa cela. Tudungnya berhias serat-serat yang lembut bagai bulu domba. Kebalikan dari warna kuning itu, rambut hitam kelamnya terjalin rapi di samping kanan. Walau hanya dilihat dari samping, semua orang pasti berpendapat sama dengan si Pria—dia gadis yang amat cantik. Ketika perhatian pria itu beralih, dia mengerutkan kening begitu menyadari orang-orang di sekelilingnya juga tanpa malu memperhatikan gadis tadi. Kasarnya, menjadikan dia barang tontonan.

Si Pria pelan-pelan mendekat lalu bertanya, "Mau ke mana, Non?"

Gadis itu menoleh. Tapi ekspresinya sama sekali tidak diharapkan oleh si Pria. Matanya menyorot tajam dan alisnya bertaut menunjukkan rasa tidak suka karena telah terusik. Menerima respon seperti itu, pria tadi pun mengurungkan niatnya untuk sok akrab.

Untunglah tidak lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu datang.

Seorang remaja laki-laki jangkung berjaket hitam dengan ranselnya berjalan cepat menghampiri sang Gadis yang menunggu.

"Aku sudah berusaha datang lebih awal, tapi selalu kamu yang datang lebih dulu," kata laki-laki itu kemudian duduk di dekatnya dengan napas yang agak memburu.

"Kau lari?" Melisma—gadis itu menoleh dan tersenyum. Sikapnya seratus delapan puluh derajat berbeda dengan yang tadi.

"Taksiku terjebak macet. Aku terpaksa lari ke sini karena seperti yang sudah kubilang tadi: aku berusaha sampai di sini lebih awal," jawab Alan sebal.

"Kenapa kau begitu terobsesi sekali datang lebih dulu daripada aku?"

"Aku-tidak-terobsesi," jawab Alan menekan nada pada satu per satu kata, khususnya pada kata terakhir.

Melisma tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.

Satu kereta datang, berhenti sejenak untuk menunggu semua penumpangnya masuk menimbulkan jeda obrolan yang panjang di antara mereka berdua. Sebagian besar orang di sana membawa tas atau koper yang besar dan berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing, sementara sebagian lainnya hanya duduk dan menunggu—seperti yang Melisma dan Alan lakukan—sambil berkutat dengan gadget.

"Kenapa kamu milih naik kereta? Padahal akan lebih cepat dengan pesawat," ujar Alan memasukkan kedua tangannya di saku jaket.

Gadis itu menekan bibirnya lalu menyilangkan tangan meskipun tersembunyi dalam balutan coat.

"Ibuku suka sekali mengajak kami berlima naik kereta api," katanya kemudian. Matanya menerawang lurus mengingat saat-saat kecilnya yang indah. Tentunya jauh lebih indah ketika wanita yang bagaikan terus bermandikan cahaya itu masih menghembuskan napas. "Meskipun ujung-ujungnya kami hanya mendatangi tempat-tempat yang sebenarnya tidak perlu.. atau juga meski kami hanya berkeliling... Dia suka menggantungkan tangannya pada pegangan dalam kereta api yang sedikit berguncang.."

The Twins: Out of StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang