Prolog

547 28 1
                                    

Sekarang, kota ini persis seperti apa yang dideskribsikan oleh Charles Dickens dalam salah satu bukunya, Bleak House.

Memang tidak ada pabrik-pabrik bercerobong asap, juga kereta-kereta kuda. Ini bukan London abad kesembilan belas, melainkan ratusan tahun setelah itu. sebagai gantinya, ada bangunan-bangunan modern dan kendaraan-kendaraan bermotor.

Namun langit tampak gelap walau sore masih panjang. Awan kelabu yang bergelayut di atas kepalaku sulit dibedakan dengan lumpur yang mengendap di bahu Belvedere Road. Udara yang dingin semakin menusuk. Gabungan sweter dan jaket wol tidak cukup untuk melawan angin musim dingin. Dan kabut tipis terbang rendah membatasi pandangan.

Di sekelilingku, puluhan oraang berlalu-lalang, melangkah gegas ke berbagai arah dengan payung yang mengantung di tangan masing-masing, berkelit menghindari lawan dan sesekali bersinggungan bahu. Sepatu yang mereka gunakan menciptakan derap samar yang tak beraturan. Warna pakain mereka yang gelap menambah suram suasana di bantaran Sungai Thames.

Aku duduk di tepi plaza, di salah satu kursi beton yang berbaris rapi tidak jauh dari kincir raksasa yang bersinar putih kekuningan. Tubuhku merunduk. Kedua tanganku berada di atas meja menggenggam gelas yang berisi coklat panas. Aku tengah menunggu dan waktuku kian menipis.

Tidak, aku tak akan pergi untuk meninggalkan kota ini hanya untuk menghindari orang yang membuatku jatuh cinta terlalu dalam kepadanya. dan karena rasa cintaku yang terlalu dalam, aku merasakan sakit hati yang lebih besar dari yang seharusnya aku rasakan.

Satu tahun yang lalu, aku datang dengan semangat yang luar biasa, dengan gairah yang tak hanya untuk mengejar cinta membara seperti api besar yang tengah melahap kayu di dasar perapian. Kini, aku tak hanya nampak lelah, namun kehilangan asa. Kota ini telah banyak mengikis harapanku hampir setiap waktu. Butir-butir air yang tercurah di langit mencuri mimpi indah dalam benakku sedikit demi sedikit. Dan yang tersisa hanya kenyataan.

Kenyataan pahit.

Ia lebih memilih gadis lain ketimbang aku yang selama ini mencintainya.

Aku tau aku bukan gadis seperti yang ia katagorikan dalam gadis impiannya untuk menjadi kekasih. Tapi setidaknya, apakah ia tak mempunyai perasaan untuk tak menyakitiku?Akankah dia muncul? Atau hanya akan membuatku menunggu lama dengan segala harap dan angan yang ia janjikan? Is this still called Little White Lies when he already lied too much. Too many. Too hurt.

persetan.

“Kau yakin tidak ingin memesan makanan, miss?” tanya seorang pelayan lain kepadaku. Pertanyaan yang bukan pertama kalinya mereka sampaikan kepadaku . Karena lamanya aku menunggu di sini tak sebentar.

“Aku akan memesan jika orang yang mengajakku bertemu di sini datang, maaf.” Jawaban yang kuucapkan pun sama seperti empat kali yang lalu.

Mengapa aku masih saja menunggunya jika aku tak suka dengan menunggu? Aku mendesah. Hatiku mengatakan aku tak boleh beranjak pergi. Namun pikiranku mengatakan aku harus segera pergi dari tempat ini sebelum hujan kembali mengguyur London untuk yang kesekian kalinya.

******************************************

Helloooooo readers!! aku kembali dengan sequel Stole My Heart yang selama ini hanya bisa aku janjikan hehehe.

Bagaimana sejauh ini? Jauh? well its just prolog, but I hope everyone of you enjoy it. but i also have a big hope that my readers be active readers cause they are leave comment and votes. I hope it guys.

25++ votes please?

Hold OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang