the moment when...

189 21 0
                                    

Tak ada petemuan setelah hari itu

Tak ada pula kepastian dengan hubungan ini

Hanya senyum yang bisa menyembunyikan semua

Bahwa ada harap dalam hati

Seperti pertama aku mengharapkanmu, dulu

“Kayla Edward!” sentakan dari dosen yang menyampaikan materi membuatku mengerjapkan mata beberapa kali. “Berapa kali saya tekankan untuk tidak melamun di kelas saya?!” bentak Mr. Frank kepadaku.

Hell, memang ini bukan pertama kali Mr. Frank bahkan dosen yang mengajar menegurku yang sedang melamun disaat pelajaran mereka. Entah setan apa, aku selalu melakukannya. Membuatku tak ada mood untuk mengikuti materi yan begitu banyak dan deadline tugas yang mencekik.

“Sorry, sir.” Hanya itu yang bisa ucapkan agar tak mendapat masalah yang lebih besar dari ditegur seorang dosen killer. Aku tak berani mendongakkan kepalaku untuk menatap Mr. Frank yang wajahnya telah berubah menjadi merah padam karena ulahku.

Selalu saja aku membuatnya naik pitam karena melamun sejak kejadian itu menimpaku. Tak tau apa alasannya, kejadian yang sama sekali tak bahagia selalu menghantuiku. Tepat setelah kejadian Liam memukul Harry di toko roti milik Caitlin. Setelah ia meminta maaf kepadaku dan aku masih tak bisa memaafkannya begitu saja. Ia tak pernah mencoba untuk menemuiku. Begitu juga aku. Bahkan menghubunginya saja tak aku lakukan. Keberanian tak pernah menghampiriku saat aku ingin menghubunginya dan menanyakan kejelasan hubungan yang selama tiga bulan ini tak ada kabarnya.

Banyak majalah, siaran di tv dan media sosial yang membicarakan hubunganku dengan Liam. They already catch me, ruin my life. But don’t really know what’s going on between me and him. Setelah kepergok oleh kamera saat aku sedang melakukan penjelajahan di St. Paul’s Cathedral saat itu, hidupku tak lagi normal. They keep talking about me. Padahal mereka sama sekali tak mengenalku. And its suck.

Membuatku tak bisa mendapat banyak teman seperti yang aku perkirakan sebelumnya. Ditambah dengan munculnya diriku di ulang tahun Simon dan diperkenalkan sebagai keponakan tersayang sang pemilik pesta, membuatku menerima lebih hujatan dari teman sekampus yang tak suka dengan keberadaan dan kebenaran status sosialku.

Sebuah kertas sobekan diletakkan di mejaku tepat dibawah wajahku yang tertunduk. Tulisan Caitlin.

“Kau masih tak menghubunginya?” tulis Caitlin dikertas itu. dia pasti takut dengan Mr. Frank jika ia menanyakannya langsung kepadaku dengan suara. Karena My beloved Mr. Frank sangat benci jika ada yang berbicara di kelasnya.

“Nope. Aku tak tau bagaimana.” Tulisku di kertas yang sama untuk menjawab pertanyaan Caitlin. Ku kembali kertas itu kepada Caitlin dengan hati-hati agar tak ketahuan oleh Mr. Frank.

            Semua usahaku untuk melupakannya terasa percuma. Karena semakin banyak memori yang teringat tentangnya dikepalaku saat aku mencoba untuk melupakannya. Tapi bagaimana jika ia tak mencoba untuk melupakan ingatan tentang aku, namun ia begitu saja lupa dan tak pernah ingat? Aku tak pernah tau jawabannya.

            Tak butuh waktu lama dari aku menjawab surat dari Caitlin, Mr. Frank menyudahi pelajarannya. Para mahasiswa berhamburan untuk keluar dari ruangan. Namun tidak dengan aku yang masih berkutit membuat coretan pada notebook spesialku.

You never hear me out

You just turn and walk away

Maybe I should write it down

Is it better of that way?

And its tears me apart to know it isn’t work

Maybe I should write it down

Hold OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang