Rain’s Point of View
Aku menghempaskan punggungku pada sandaran kursi, merenggangkan otot-ototku dan mengerjapkan mataku beberapa kali untuk merelekasasikannya. Tubuhku saat ini benar-benar terasa lelah. Sejak beberapa hari lalu aku kehilangan banyak jam tidurku untuk menyelesaikan pekerjaanku, dan kegiatan menyunting naskah cerita benar-benar memforsir mataku untuk selalu melihat layar komputerku hingga rasanya mata ini sudah kering karena terlalu lama di hapadan komputer. Untung saja sekarang aku sudah bebas dari penyakitku yang dulu selalu membuatku menjadi sosok wanita lemah.Aku bisa sedikit lega karena satu pekerjaannku itu telah selesai sekalipun pekerjaan selanjutnya sudah menanti, namun setidaknya satu tugasku sudah tuntas. Aku merapikan berkas-berkas yang bereserakan di mejaku, setelah ini aku berniat pergi ke kantin untuk mengisi perutku yang sebenarnya sudah keroncongan sejak tadi. Aku tidak sempat mengisi perutku pagi tadi, alhasil aku benar-benar kelaparan saat ini.
“Pasti kerjaan lo udah kelar ya? Lo udah nyantai beres-beres gini.” Aku sedikit terkejut mendengar suara yang tiba-tiba menginterupsi kegiatanku, aku langsung berbalik. Aku mendapati sahabatku tengah berdiri dan menatapku dengan senyum tulusnya.
Ya, aku dan Dea kini bekerja di kantor yang sama sebagai editor novel di AXCELLmedia, salah satu kantor penerbit buku yang cukup terkenal di Jakarta. Kami juga masih meneruskan hobi kami untuk menulis selagi kami mengedit cerita penulis-penulis yang bekerja sama dengan kami. Aku memang sekantor dengan Dea namun sayangnya kami tidak satu tim, Dea berada di tim lain sehingga ia tidak satu ruangan denganku.
“Iya akhirnya selesai juga, lega gue. Setidaknya satu tugas udah gue selesain.” Aku berbalik dan kembali merapikan mejaku yang berantakan.
“Lo mau ngapain bentar lagi?”
Aku kembali berbalik menatap Dea setelah selesai merapikan mejaku. “Gue harus cari pemadam kelaparan. Sumpah gue laper banget sekarang.”“Kapok lo, siapa suruh langsung berangkat gitu aja tanpa sarapan dulu.”, balas Dea mengingatkanku akan kejadian tadi pagi ketika aku meninggalkannya dan berangkat ke kantor lebih dulu. Ya, saat ini kami tinggal bersama di apartemen yang letaknya lumayan dekat dengan kantor kami saat ini. Alhasil aku selalu menghabiskan waktuku dengan Dea lebih banyak dari saat kami kuliah dulu. Bayangkan saja aku bertemu dengannya bukan hanya di kantor saja, sepulang dari kantor pun kami selalu bertemu karena kami tinggal bersama.
“Kalo gue masih punya waktu buat sarapan, gue ngga bakal pergi gitu aja. Masalahnya lo tau sendiri kalo tadi pagi gue udah dikejar-kejar deadline kerjaan De.”
“Oke oke gue ngerti kok. Yaudah sekarang yuk kita makan siang.” Dea langsung menggandeng tanganku dan menarikku dari posisiku.
“Kayanya baru kali ini lo seheboh ini dikejar-kejar deadline. Biasanya lo bahkan nyelesain pekerjaan lo sebelum deadline, apa penulis lo itu segitu parahnya?”, tanya Dea selagi kami berjalan meninggalkan ruangan kerjaku. Aku memutar bola mataku mendengar pertanyaan Dea yang kurasa sikapku sudah menjawab pertanyaannya.
“Sumpah kali ini parah banget. Sepanjang perjalanan karir gue sebagai editor 2 tahun ini, baru kali ini gue dapet penulis yang cara nulisnya berantakan banget. Untung aja ceritanya bagus dan menarik, kalo engga pasti cerita itu ngga bakal keterima. Typo dimana-mana, struktur kalimat yang berantakan, perubahan sudut pandang yang ngebingungin, dan masih banyak lagi.”
Dea tertawa mendengar penjelasanku, mungkin lebih tepatnya eluhanku yang begitu panjang. “Gue ngga nyangka pilihannya Pak Sony bakal separah itu. Gue pikir pilihan ceritanya Pak Sony udah ngga usah di ragukan lagi, tapi denger keluhan lo barusan kayanya gue mulai ragu deh sama Pak Sony.”
“Gue juga ngga habis pikir kenapa Pak Sony bisa senekat itu ambil cerita itu. Ya gue nyadar sih ceritanya emang bagus, dan alur ceritanya juga unik, ngga pasaran kaya cerita-cerita yang selama ini gue baca. Tapi ya cara penulisannya itu berantakan banget. Penulisnya itu seorang pemula yang hanya pandai berimajinasi, tapi sama sekali kurang pengetahuan tentang menulis.”
YOU ARE READING
Rainbow's Love
RomanceIngatan yang hilang bukan berarti tidak pernah ada. Kenangan itu tetap ada, mungkin hanya terlupakan sesaat atau mungkin selamanya. Velonica Rain terbangun dari masa komanya pasca kecelakaan percobaan bunuh dirinya, dengan keadaan kehilangan ingatan...