12. Gadis Misterius

11 2 0
                                    



Daffin's Point of View

Aku menaiki lift dengan perasaan tidak tenang. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan gadis itu di kantorku sendiri, terlebih dengan keadaan seperti ini. Maksudku dengan bersama beberapa orang penting Alpha Grup yang sebagian adalah keluargaku sendiri. Kakakku, ayahku beserta sekretarisnya sempat memperhatikanku ketika aku tiba-tiba menghampiri Rain tadi. Aku menyadari itu, namun entah mengapa aku tetap saja menghampiri gadis itu tanpa berpikir dua kali untuk meninggalkan pejabat tertinggi Alpha grup ini, bahkan membuat mereka menunggu.

"Aku tahu kau selalu ramah seperti itu, tapi ku harap kau tidak menyepelekan pejabat tinggi lain dengan pergi mengobrol dan membiarkan mereka menunggu." Aku terkesiap mendengar ucapan ayahku barusan. Rupanya aku baru saja dapat peringatan tentang sopan santunku. Ayahku tidak akan berpikiran macam-macam tentang Rain, karena tahu aku selalu baik pada semua orang. Sehingga wajar saja jika aku melakukan hal seperti tadi. Rupanya ayahku belum mengenalku dengan baik, karena beliau tidak menyadari bahwa aku tidak mungkin melupakan sopan santunku jika itu orang lain. Bukan karena aku selalu baik dan ramah pada semua orang, tapi karena itu adalah Rain, kakiku seakan melangkah dengan sendirinya, bahkan tanpa ku perintah. Seakan menghampirinya adalah suatu keharusan, tanpa sadar aku bergerak ke arahnya.

"Maaf, Daffin harap ini tidak akan terjadi lagi." Ayahku tidak menjawab ucapanku lagi hingga kemudian lift kami pun berhenti dan terbuka. Aku melangkah menuju ruanganku dan membukakan pintu untuk mereka.

Sebelum memasuki ruanganku ayahku sempat berhenti dan menatap bangku Sarah di depan ruanganku. "Kemana sekretarismu? Kau bahkan membuka pintumu sendiri?"

"Ini masih jam istirahat, sekretaris juga membutuhkan waktu untuk istirahat juga kan Pak Direktur." Ayahku langsung menatapku dengan pandangan tak suka, sepertinya beliau merasa tersindir dengan ucapanku, karena beliau selalu membawa sekretarisnya kemana-mana. Untung saja Pak Seno sangat loyal pada ayahku sehingga betah bekerja dengan ayahku selama bertahun-tahun, padahal ayahku begitu bergantung padanya.

"Tentu saja ia harus ada ketika di butuhkan. Bukankah kau membayarnya untuk bekerja."

"Sekretaris juga karyawan. Dia berhak mendapatkan haknya untuk beristirahat sesuai dengan ketentuan."

"Tapi gajinya tidak sama dengan karyawan biasa, haruskah dia bekerja seperti karyawan yang lain?" ini bukan pertanyaan meskipun ayahku berkata seperti bertanya. Ini adalah pernyataan yang sepertinya tidak bisa di bantah seperti biasanya.

"Memangnya Pak direktur ingin sekretarisku bekerja 24 jam melayaniku? Dia bukan kekasihku apalagi istriku."

"Kalau begitu dapatkan satu untuk menjadi istrimu." Aku terbelalak mendengar pernyataan ayahku. Seingatku kami masih berdebat masalah sekretaris beberapa detik yang lalu, lantas mengapa tiba-tiba harus membahas soal istri sekarang. Aku mengalihkan pandanganku pada Kak Raffa, berharap ia bisa membantuku dan mengalihkan pembicaraan, namun di luar ekspektasiku, ia malah memasang ekspresi yang sama dengan ayahku seolah ikut mengatakan hal yang sama dan sukses membuatku frustasi.

"Kenapa hanya diam? Kau tidak ingin menikah?"

"Bisakah kita tidak usah membicarakan ini wahai bapak direktur yang terhormat. Seingatku kita membahas soal sekretaris tadi."

"Apakah salah jika aku mengatakan ingin melihat putraku menikah?"

"Papa ngga usah khawatir, Daffin akan menikah saat Daffin ingin dan siap. Jadi bisakah kita membahas masalah pekerjaan sekarang?" karena tidak ada yang mengalihkan pembicaraan ayahku, akhirnya aku alihkan sendiri, dan beruntunglah ayahku tidak membahasnya lagi dan benar-benar membahas masalah pekerjaan setelah itu.

Rainbow's LoveWhere stories live. Discover now