Rain's Point of View
Aku berjalan ke arah penjual minuman di pinggir pantai dengan perasaan canggung. Setelah membeli satu minuman soda, aku langsung menegaknya dengan cepat. "Lo darimana aja sih Rain? Dari tadi gue cariin ngga taunya disini." Ucapan Dea yang tiba-tiba datang membuyarkan segala pikiran yang ada di otakku.
"Lo lama banget sih. Cuma ambil topi aja lama banget sampe gue lumutan." Dea hanya nyengir dan memamerkan ekpresi innocentnya. Namun tak lama ia membelalakkan matanya begitu melihat lenganku yang terbalut sapu tangan.
"Tangan lo kenapa? Lo ngga niat bunuh diri Cuma gara-gara bosen banget nungguin gue kan?"
"Ngga papa kok, tadi gue Cuma kepeleset aja.", jawabku sambil berusaha menutupi lukaku meskipun percuma karena Dea sudah melihat.
"Bentar lo tunggu disini, gue beli obat sama alkohol dulu." Dea langsung bergegas pergi tanpa menunggu responku terlebih dahulu, ia bahkan berjalan tergesa-gesa seolah aku tengah terluka parah. Dan tak lama ia kembali dengan obat-obatan kemudian langsung mengobati tanganku tanpa berkata-kata lagi.
Perasaan canggung yang tadi sempat aku rasakan sudah hilang sejak Dea datang menghampiriku, namun saat ini ketika Dea mengobatiku tanpa bicara membuatku kembali ingat akan apa yang kurasakan beberapa waktu lalu. Entah mengapa aku merasa sangat canggung dengan perlakuan Daffin tadi, padahal yang ia lakukan hanya membalut lukaku. Mungkin karena sikapnya yang berbeda dari apa yang orang lain berikan ketika di tabrak olehku seperti tadi.
FLASHBACK
"Anda tidak apa-apa?"
Aku menatapnya tak enak. Masih ada rasa bersalah di hatiku, terlebih ia belum mengatakan bahwa ia memaafkanku. "Ngga papa kok. Sekali lagi Maaf ya."
"Anda yakin? Sepertinya anda jatuh terlalu keras hingga anda hampir kehilangan keseimbangan.", katanya dengan raut khawatir dan berusaha membantuku berdiri. Apa-apaan ini, kenapa dia malah terlihat mengkhawatirkanku? Bukannya seharusnya dia marah atau memprotes kecerobohanku? Ia memang tidak sampai terjatuh sepertiku, namun aku tahu bahwa aku cukup keras menghantam tubuhnya.
"Saya ngga papa kok, ngga usah khawatirin saya, sebaliknya saya merasa bersalah karena sudah ceroboh hingga menabrak kamu."
Ia kembali tersenyum, namun kali ini bukan senyum ramah seperti tadi, melainkan senyum jenaka. "Tidak apa-apa, mungkin anda memang sedikit hobi menabrak seseorang." Aku mengernyit bingung. Kali ini aku benar-benar tak mengerti kemana arah pembicaraannya. Ia berkata seolah tahu aku sering ceroboh dan menabrak orang.
"Maaf, tapi saya ngga merasa bahwa yang kamu katakan itu benar."
"Anda pegawai di Axcell media bukan? Kita pernah bertemu sebelumnya, tapi mungkin anda tidak menyadarinya." Kerutan di dahiku bertambah. Aku semakin bingung dengan lelaki di hadapanku. Bagaimana ia bisa tahu pekerjaanku? Bertemu? Aku tidak ingat pernah bertemu dengannya.
"Bertemu? Maaf tapi saya ngga ingat kita pernah bertemu sebelumnya."
"Kejadian nampan pelayan yang jatuh." Aku masih diam belum mengerti dengan ucapannya, seolah mengerti kebingunganku ia kembali melanjutkan perkataannya. "Waktu anda tidak sengaja menabrak seorang pelayan di restoran Rainbow, saat itu saya duduk tidak jauh dari tempat anda.."
Aku kembali mengingat kejadian memalukan beberapa waktu lalu, pria ini mengatakan melihatku saat itu, namun sepertinya aku tidak memperhatikannya, tunggu! Seketika aku menatap wajahnya dengan seksama, wajahnya memang tampak tidak asing. Aku mencoba mengingat-ingat dan begitu mendapatkannya aku sedikit terkejut, apa dia pria itu? Mungkinkah?
YOU ARE READING
Rainbow's Love
RomanceIngatan yang hilang bukan berarti tidak pernah ada. Kenangan itu tetap ada, mungkin hanya terlupakan sesaat atau mungkin selamanya. Velonica Rain terbangun dari masa komanya pasca kecelakaan percobaan bunuh dirinya, dengan keadaan kehilangan ingatan...