Pandanganku kosong. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Aku tidak mengerti sama sekali. Aku masih bisa melihat segala sesuatu seperti biasa, namun aku merasa segala sesuatu itu menatapku prihatin. Bahkan suara kendaraan yang melintas ditambah suara isakan tangis orang-orang di rumahku seperti menyanyikan simfoni hitam yang menggambarkan kemalangan. Tidak ada air mata yang mengalir di pipiku, berbeda dengan pipi-pipi mereka yang tampak mengalir sungai-sungai.
Aku berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Tidak kuhitung berapa kali sudah jarum pendek di jam dinding ruang tengah rumahku berputar. Kulihat banyak karangan bunga di halaman depan, bertuliskan ucapan belasungkawa atas meninggalnya suamiku. Ya, ada nama suamiku di sana. Apa? Meninggal? Sepagi ini kah mereka bercanda? Aku tahu betul memang dunia yang kita tinggali saat ini penuh dengan candaan. Bahkan kini kita sukar membedakan antara keseriusan dan candaan. Tetapi, sebagai makhluk yang beretika dan berakhlak di bumi ini, seharusnya kita bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Candaan akan menjadi ejekan atau ajakan permusuhan jika waktunya tidak tepat.
Kupanggil anak semata wayangku.
"Apakah mereka semua sudah gila? Pagi-pagi sudah bercanda. Apa maksud mereka membawa karangan-karangan bunga ke rumah kita? Dan ada nama papahmu lagi. Ini sama sekali tidak lucu!"
Aku mengomel dengan suara lemah. Mengapa suaraku menjadi lemah? Aku benar-benar tidak mengerti.
"Sudah mah, mamah harus merelakan kematian papah. Biarkan papah pergi dengan tenang."
"Siapa yang bilang papahmu mati? Oh, rupanya kau mulai ikut-ikutan bercanda seperti mereka. Papahmu belum mati. Dia hanya tertidur. Kasihan dia. Dia sangat kelelahan. Tubuhnya sedikit terasa dingin di musim penghujan seperti ini."
Aku yang duduk di samping pembaringan suamiku, mendekatkan pipiku dengan pipinya lantas menempelkannya sambil kugerak-gerakkan sedikit.
"Sini tanganmu, Nak." Aku meraih tangan anakku dan meletakkannya di pipi papahnya.
"Hangat lagi kan?" Kataku dengan sedikit tersenyum.
"Mah...."
Kulihat anak laki-lakiku yang kuat ini menangis. Seharusnya pendidikan di akademi militer yang diterimanya selama ini membuatnya tahan banting dan tidak mudah menangis. Lebih-lebih dia adalah anak laki-lakiku. Anak laki-laki tidak boleh menangis. Tetapi mengapa saat ini dia menjadi cengeng?
"Mamah harus bersabar."
Sabar. Kata itu seperti sebuah tamparan. Perlahan-lahan aku mulai sadar dan akal sehatku merangkak datang.
Tiba-tiba aku mengingat kejadian semalam, saat aku sedang berada di dalam mobil ambulan yang melarikan suamiku ke rumah sakit. Dengan tenaganya yang kian melemah, ia memintaku untuk mendekatkan keningku ke bibirnya lalu mengecupnya hangat. Kemudian dengan suara yang sangat lirih dan senyuman yang diusahakan karena menahan rasa sakitnya, ia berkata kepadaku:
"Aku ingin pindah rumah. Malam ini aku akan menetap di pikiranmu."
*****
Bertahun-tahun telah berlalu dan dia masih selalu di dekatku.
Kecupanmu di keningku malam itu
Menjadi kenangku di senja hidupku
Irham Darmatasia
Denpasar, 20 Juli 2017
*terinspirasi dari kisah nyata
KAMU SEDANG MEMBACA
JANJI SANG SENJA
PoetryUfuk Barat bercerita Janji sang senja Yang menyebar jingga Hilangkan luka Dongengkan cerita cinta 'Apa kabar adinda? Lama tak bersua Rindu bibir merah dan pipi merona Tertutupkah rahasia kita?' "Kakanda begitupun aku Berdua aku dan rembulan merindu...