Aisha mengakhiri keterdiamanku dengan menyodorkan piring kertas berisi sepotong blackforest dan garpu plastik. "Suapin Adhi duluan gih, Dav."
Aku menatap Aisha dengan senyumannya yang berusaha mengusir luka. Adhi sudah senyam-senyum kesenengan sendiri. Aku menghela napas, melawan pergulatan batin yang juga melandaku. "Kalian suit deh!"
Mereka menatapku, "iya suit. Entar yang menang gue suapin duluan. Gitu."
Membulatkan bibir, merekapun melaksanakan titahku. Adhi menang. Entah skenario apa yang mereka mainkan, aku tidak peduli. Yang penting aku sudah mencoba berlaku adil pada keduanya.
Selesai menyuapkan Aisha, fokusku kembali pada Adhi yang di pojok bibirnya terdapat sisa-sisa krim. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saja jemariku tergerak untuk membersihkannya. Mengusap bibirnya perlahan, penuh penghayatan. Ada sebuah gejolak aneh, namun tak asing.
Ia menghentikan pergerakan tanganku yang sudah usai menandaskan sisa krim di bibirnya. Aku menatapnya tepat di netra, dan iapun melakukan hal yang sama. Pandangan kami terkuci, tanpa peduli apa-apa lagi di sekitar kami. Matanya mencoba menggali apa-apa yang hatiku coba pungkiri. Jantungku sudah siap sedia untuk bunuh diri. Hatiku pun sudah tak kuasa untuk menyembunyi. Tapi mataku bebal, besikeras untuk terus bersitatap.
Ia menurunkan tanganku, kemudian tersenyum. "Thank you," meraih tanganku yang lain, "I love you."
Tubuhnya yang jauh lebih tinggi dariku ia bungkukkan, hingga kepalanya menyejajari kepalaku dengan mata yang masih intens menatapku. "Be my Arwen and I'll be your Aragon. Be my Katniss and I'll be your Peeta. Be my Tris and 'll be your Four. Be my Harley and I'll be your Joker." Wajahnya merapat. "Or I don't care about them at all. Just be yourself and let me be your boyfriend, Davina."
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya untuk menangkup mulutku yang tanpa kusadari menahan napas sejak tadi. Inginnya aku meluapkan euforia ini, namun tak bisa... Ada hati yang harus kujaga.
"Davina, want you?"
Kutahan mati-matian otot-otot di tengukku untuk tak menggerakkan leher ini naik turun mengangguk. Begitu hebat gejolak yang mengguncang batinku hingga tanpa kupinta, cairan bening merembes dari sudut-sudut mataku. Aku menggigiti bibir bawahku untuk meredam isak. "Tega ya, lo ngomong kayak gitu."
Tatapanku teralih pada Aisha yang memangkas jarak di antara kami, "Jangan kasihani gue, Dav. Lo berdua pantas bahagia." Ia merengkuh tubuhku, menenggelamkannya dalam peluk yang erat dan semakin erat. "Gue sayang banget sama lo, Dav. Sayaaaang banget. Jadian ya, sama Adhi?"
Dapat kurasakan, ada cairan yang merembes pada bagian pundak seragamku. Aisha menangis. Kutepuk-tepuk bahunya berirama, menenangkan. "Shaaa..."
"Gue nggak apa-apa, Dav. Gue nggak kenapa-kenapa." Aisha mengakhiri pelukan kami dan menyeka matanya dengan ujung seragam. "Maaf, udah bikin seragam lo basah." Ia cengengesan. Aisha, bisa-bisanya lo sok berlagak konyol dalam kondisi kayak gini.
"Jangan benci sama Adhi, karena itu cuma bakal nyakitin diri lo sendiri. Adhi nembak lo ini juga atas permintaan gue kok. Dia nggak setega itu buat ngerusak hubungan kita bertiga. Gue yang tega. Biar lo berdua bahagia."
"Tapi bahagianya gue bukan sekadar jadian dan nggak jadian, Aisha! Bahagianya elo tuh bahagia gue juga!" Kenapa sih Sha, pemikiran lo jadi sempit gini?
Aisha tersenyum sumbang. "Gue pulang duluan ya, udah mau maghrib. Dhi, lo anterin Davina. Soalnya kita yang tanggung jawab bikin dia pulang setelat ini." Adhi membentuk bulatan dengan jarinya, 'ok'.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Semenjana
Teen FictionAku ini anak biasa, hidup di keluarga yang biasa, dan memiliki pergaulan yang biasa. Ya, semua yang ada di hidupku rasanya semenjana. Terlalu biasa saja. Lalu semua terasa berbeda, ketika aku masuk SMA. Tidak ada lagi hari-hari yang terlalui denga...